News Selasa, 05 Juli 2022 | 13:07

Raker dengan Menkes, Komisi IX Singgung Standarisasi Rawat Inap BPJS Kesehatan

Lihat Foto Raker dengan Menkes, Komisi IX Singgung Standarisasi Rawat Inap BPJS Kesehatan Ketua Komisi IX DPR RI Felly Estelita Runtuwene. (Foto: Istimewa)

Jakarta - Para anggota Komisi IX DPR RI memberikan masukan terkait implementasi penerapan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kelas standar.

Komisi IX DPR RI mendesak Kementerian Kesehatan RI dan DJSN bersama BPJS Kesehatan mempersiapkan secara komprehensif kebijakan dan implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) sebagai implementasi UU Sistem Jaminan Sosial.

Ketua Komisi IX DPR RI Felly Estelita Runtuwene menyampaikan beberapa hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam penerapan KRIS, antara lain dibuatnya peta jalan pemenuhan sarana prasarana rumah sakit sesuai indikator KRIS.

Demikian disampaikan dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama BPJS Kesehatan ALi Ghufron Mukti dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin, 4 Juli 2022.

"Jangan sampai implementasi KRIS terhadap pembiayaan, kualitas pelayanan kesehatan, tarif rumah sakit dan iuran peserta JKN memberatkan masyarakat. Poin ini harus menjadi perhatian pemerintah sebelum menerapkan KRIS," kata Felly seperti dikutip, Selasa, 5 Juli 2022.

Hal senada, Anggota Komisi IX DPR RI Dewi Asmara mengingatkan dalam menerapkan implementasi KDK dan KRIS perlu mempertimbangkan kesiapan keseluruhan sistem, bukan hanya infrastruktur dan sumber daya manusia.

"Jangan sampai implementasi KRIS menurunkan kualitas pelayanan JKN. Contoh dari dua rumah sakit yang diujicobakan saat ini, kekurangan tempat tidur dan memperpanjang proses antre dan kerugian," ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyampaikan terkait rencana penerapan rawat inap standar pada program Jaminan Kesehatan Nasional (KRIS JKN).

Dia menjelaskan implementasi KRIS JKN telah diamanatkan di dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang kemudian aturan lebih lanjut diturunkan di dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Menurutnya, berdasarkan Perpres 64 Tahun 2020 tersebut, alasan perlu diterapkannya KRIS JKN adalah agar BPJS bisa keluar dari jebakan defisit.

"Defisit lebih dari Rp 50 triliun. Makanya mengakibatkan persoalan rumit. Dibikin Perpres (64 Tahun 2020) dan harus cepat selesai. Dalam Pasal 54A, eksplisit jelas disebutkan, berkelanjutan program pendanaan KRIS agar tidak defisit. Sekarang (BPJS Kesehatan) sudah tidak defisit," tutur Ali.

Karena itu, dia menambahkan persoalan mengenai KRIS JKN saat ini digeser peruntukannya, bukan lagi untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan, tapi untuk perbaikan mutu layanan kesehatan di Indonesia.

Kendati demikian, lanjut dia, untuk menerapkan layanan BPJS Kelas Standar banyak sekali persoalan yang harus diperhitungkan dan dikonsepkan dengan matang.

Salah satunya besaran tarif yang dibayarkan BPJS Kesehatan ke fasilitas kesehatan akan menjadi dobel.

Sebagaimana diketahui, kelas standar mulai diuji coba di lima RS vertikal milik Kemenkes pada awal bulan ini.

Menteri Kesehatan Budi Gunawan menjelaskan, 50 persen RS vertikal akan mulai mengimplementasikan kelas standar pada paruh kedua tahun depan.

Kemudian pada paruh kedua, diharapkan 100 persen RS milik Kemenkes menerapkan kelas standar, 30 persen di RS lainnya termasuk RSUD, RS TNI dan Polri, dan milik swasta. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya