Oleh: Eko Sulistyo
Kebijakan subsidi energi Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia bertujuan menjaga harga agar tetap stabil dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan menahan harga energi di bawah harga pasar, memungkinkan masyarakat berpenghasilan rendah mengakses energi yang tidak mampu mereka beli.
Namun, salah satu masalah yang juga dialami banyak negara, adalah orang-orang kaya yang juga turut menikmati BBM bersubsidi karena lemahnya sistem pengawasan.
Saat Indonesia menaikkan harga BBM non-subsidi seperti Pertamax Plus dan Pertamax, sebagian besar konsumen langsung beralih ke Pertalite. Tidak adanya persyaratan khusus pembelian BBM bersubsidi membuat masyarakat menengah ke atas mudah mengaksesnya. Orang kaya dengan daya beli yang lebih besar dan konsumsi yang lebih banyak, dapat mengakses manfaat subsidi BBM lebih banyak.
Kini, berdasar realitas guncangan ekonomi global dan lonjakan harga energi dunia, pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dan mengalihkan dengan bantuan yang lebih ditargetkan bagi rumah tangga miskin. Sebelumnya, pemerintah telah menambah bantuan sosial (bansos) sebesar Rp 24,17 triliun untuk meredam dampak inflasi atas Pertalite dan Solar yang naik.
Bantuan itu diberikan dalam tiga bentuk
Pertama, bantuan langsung tunai (BLT) Rp 150 ribu kepada 20,65 juta keluarga penerima manfaat (KPM), selama empat bulan dengan total Rp 600 ribu yang akan disalurkan dalam dua tahap.
Masing-masing keluarga akan mendapatkan Rp 300 ribu dalam tahap pertama. Tahap kedua mereka akan diberikan Rp 300 ribu lagi. Pemerintah telah menganggarkan Rp 12,4 triliun untuk menambah bansos tersebut.
Kedua, BLT untuk pekerja bergaji di bawah Rp 3,5 juta per bulan sebesar Rp 600 ribu. BLT ini diberikan kepada 16 juta pekerja, dengan anggaran Rp 9,6 triliun. Ketiga, pemerintah memberikan subsidi menggunakan dua persen dari dana transfer umum, yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp 2,17 triliun untuk transportasi umum, seperti ojek.
Reformasi Subsidi
Subsidi energi telah menjadi salah satu bentuk bantuan sosial yang umum di negara dengan pendapatan rendah dan menengah selama beberapa dekade. Mengutip Benjamin Olken (2019), subsidi dengan konsep targeted transfers mulai meningkat secara pesat di negara berkembang.
Menurut peneliti dari Massachusetts Institute of Technology, Boston, Amerika Serikat ini, ada 40 negara yang telah melakukan reformasi subsidi energi seperti Indonesia sejak 2014.
Kebijakan bantuan yang tepat sasaran, mampu menurunkan pengeluaran negara untuk subsidi dan meningkatkan bantuan yang lebih efektif bagi masyarakat.
Tanpa inovasi dalam desain dan implementasi jaring pengaman sosial, reformasi subsidi dapat berumur pendek atau dapat menyebabkan ketidakstabilan politik. Untuk itu, kolaborasi antara akademisi, peneliti dengan para pembuat kebijakan menjadi penting agar pelaksanaannya evidence based dan tepat.
Indonesia sudah beberapa kali melakukan reformasi subsidi energi. Pada 2015, di awal pemerintahan Presiden Jokowi-Jusuf Kalla, telah menghapus subsidi BBM premium, subsidi tetap untuk solar dan menghapus 12 golongan pelanggan listrik dari daftar penerima subsidi.
Hasilnya pada 2015 membuat APBN memiliki ruang fiskal untuk mengalihkan subsidi energi ke bantuan masyarakat (Kantor Staf Presiden, 2015).
Reformasi subsidi energi yang dilakukan pada 2015 telah mengalihkan belanja konsumtif ke belanja produktif seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Reformasi subsidi energi harus diikuti dengan upaya menghadirkan alternatif bagi sektor-sektor yang terkena dampak. Industri juga harus mendorong efisiensi energi dalam kegiatan bisnis mereka.
Reformasi subsidi energi juga terjadi di negara-negara kaya minyak di Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA), dengan problematik yang hampir sama soal ketepatan kelompok sasaran.
Menurut studi Laura El-Katiri dan Bassam Fattouh (2017), A Brief Political Economy of Energy Subsidies in the Middle East and North Africa, sistem kesejahteraan sosial kawasan MENA terbilang minim, itu sebabnya harga energi bersubsidi terus menjadi jaring pengaman sosial yang penting, meskipun sangat mahal dan tidak efisien.
Dikutip dari laporan Global Subsidies Initiative (GSI), Fossil Fuel to Clean Energy Subsidy Swaps: How to pay for an energy revolution, Badan Energi Internasional (IEA) menemukan bahwa 17 dari sampel 40 negara menghabiskan lebih dua persen PDB mereka untuk subsidi energi pada 2017.
Seperti di Malaysia dan Indonesia, pengeluaran pemerintah untuk subsidi melebihi program dan layanan sosial. India memiliki fenomena yang berbeda, pemerintah memutuskan mempertahankan subsidi untuk penambangan batu bara.
Dalam laporannya, All Change and No Change: G20 Commitment on Fossil Fuel Subsidy Reform, Ten Years On, 3 Oktober 2019, negara-negara G20 sejak Pittsburgh Summit 2009, telah mengumumkan akan menghapus subsidi tidak efisien.
Reformasi subsidi secara eksplisit juga dinyatakan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Namun tidak semua negara G20 berkomitmen untuk penghentian subsidi bahan bakar fosil mereka.
Kontribusi PLN
Reformasi subsidi dalam sektor bahan bakar fosil, adalah untuk merasionalisasi subsidi yang tidak efisien dan menghilangkan subsidi yang tidak tepat. Subsidi bahan bakar fosil membutuhkan dana besar.
Reformasi perlu dilakukan untuk mengalihkan anggaran tersebut ke energi yang lebih ramah lingkungan, dalam konteks pengembangan energi berkelanjutan.
Sebagaimana pengalaman PT. PLN, operasionalisasi pembangkit listrik yang sebagian besar masih tergantung dari suplai BBM dan batu bara, dua jenis energi fosil yang tidak dapat diperbarui.
Selain beban anggaran negara yang kian berat di tengah kenaikan harga minyak mentah di pasar global, kemungkinan gangguan pasokan, juga bisa terjadi dengan disparitas harga batu bara untuk kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) dengan harga internasional.
Dalam konteks subsidi listrik, adalah sejumlah dana yang dibayar pemerintah kepada PLN untuk menjaga keterjangkauan harga listrik oleh masyarakat. Dengan mengalokasikan subsidi listrik, untuk golongan rumah tangga R1-450 VA dan R1-900 VA. Namun sejak 1 Juli 2022, tarif listrik pelanggan 3.500 VA ke atas telah naik sesuai tarif adjustment.
Di tengah lonjakan harga energi global saat ini, menjadikan momentum PLN berkontribusi mengurangi subsidi energi melalui program elektrifikasi transportasi. Elektrifikasi angkutan publik, seperti bus, sudah dimulai di Jakarta dan Bali.
Untuk mengejar target rendah emisi 2025, Jakarta bersiap mengoperasikan 4.000 bus listrik, sementara di Pemerintah Provinsi Bali pada tahap awal ini telah mengintrodusir layanan bus, taksi dan ojek (roda dua) daring berbasis baterai.
Pemerintah yang diwakili Kementerian ESDM, bersama PLN terus menyiapkan ekosistem pendukung, terutama pendirian Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) sebagai sarana charging station mobil listrik.
Konversi tabung Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kg ke kompor induksi oleh PLN, juga akan menjadi solusi strategis memangkas pengeluaran anggaran negara.
Subsidi konsumsi bahan bakar fosil adalah kategori subsidi energi terbesar di dunia. Kebijakan ini terutama dimaksudkan untuk mengurangi harga konsumsi energi oleh pengguna akhir.
Dengan mereformasi subsidi energi, Indonesia tidak hanya telah memperkuat posisi fiskal pemerintah, tapi juga berkontribusi mengurangi emisi karbon global sejalan dengan salah satu isu prioritas G20 yaitu transisi energi.[]
(Penulis adalah Komisaris PT PLN (Persero) - Jumat, 30 September 2022)