Pilihan Jum'at, 13 Oktober 2023 | 17:10

Rumah Langit Berbagi Kisah dan Kasih Bersama Orang Tua ODGJ

Lihat Foto Rumah Langit Berbagi Kisah dan Kasih Bersama Orang Tua ODGJ Namanya Rumah Langit, atau rumah singgah untuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). (Foto: Istimewa)

Simalungun - Namanya Rumah Langit. Sebuah rumah singgah untuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan homeless yang didirikan oleh Togu Simorangkir, seorang aktivis lingkungan dan sosial yang sudah sangat dikenal.

Rumah ini berada di Desa Silulu, Kecamatan Gunung Malela, Kabupaten Simalungun.

Sudah tiga tahun Togu mendirikan rumah ini. Dan untuk menandai usia tiga tahun rumah kemanusiaan itu, ia berbagi kisah dan kasih bersama keluarga ODGJ, Selasa, 10 Oktober 2023.

Togu Simorangkir menjelaskan, orang dengan gangguan jiwa masih dianggap membahayakan. Bahkan keluarga kerap menjauhi penderita. Karenanya diperlukan ruang diskusi sesama keluarga ODGJ untuk saling menguatkan.

"Merayakan tiga tahun rumah langit, kita berbagi kisah dan kasih. Mendengarkan cerita keluarga ODGJ, dan kisah penderita yang sudah sehat," kata Togu.

Dia mengatakan sempat ada keluarga ODGJ dari luar daerah menitipkan penderita kepada mereka, namun Rumah Langit enggan menerima penderita yang memiliki keluarga. Hal itu karena peran keluarga sangat penting dalam proses pemulihan.

"Pernah ada keluarga yang mengantar, diberikan uang pun aku nggak mau. Peran keluarga itu sangat vital. Semakin dijauhi maka dia (penderita) akan semakin benci," ujar aktivis yang pernah berjalan kaki dari Toba-Jakarta itu.

Puskesmas Bandar Siantar mencatat terdapat 18 ODGJ di Kecamatan Gunung Malela. Namun dari jumlah tersebut tak semua melakukan pengobatan rutin. Sebagian di antaranya merasa obat tidak membuat penderita membaik.

Perawat Spesialis Jiwa Rumah Sakit USU Medan, Walter, di hadapan keluarga ODGJ mengatakan hal pertama dalam menangani ODGJ adalah keikhlasan keluarga menerima penderita. Ketika keluarga menerima, maka akan mencari bantuan berupa obat dan perawatan.

Meskipun setelah meminum obat beberapa penderita mengalami efek samping, keluarga sebetulnya tak perlu khawatir. Keluarga bisa konsultasi kepada dokter untuk melihat dosis obat atau gejala lain, bukan malah memberhentikan pengobatan.

"Kalau tidak masuk obat omong kosong. Seperti benang kusut, semacam itulah isi kepala mereka," kata Walter yang juga bergabung dalam Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia.

Dia mengatakan ibarat benang kusut perlu memperbaiki perlahan-lahan. Penderita juga tidak dapat pulih dalam waktu yang singkat. Maka diperlukan pendekatan dan kesabaran keluarga.

Walter menjelaskan, sesama orang tua ODGJ juga penting berbagai cerita. Hal itu bertujuan bertukar informasi dan wadah saling membantu.

"Sesama keluarga ODGJ bisa saling berbagi cerita, kalau ada sesuatu bisa minta tolong," ujarnya.

Walter kemudian mengarahkan keluarga agar melibatkan ODGJ dalam berbagai aktivitas dan membangun komunikasi dalam berbagai hal.

"Kalau ke sawah atau aktivitas lain seperti memasak, menyapu libatkan mereka. Ketika selesai berikan pujian," kata Walter.

 

Mantan ODGJ Berbagi Kisah

Ketika depresi dan dibawa ke rumah sakit jiwa pada 2013, Jepri Sirait awalnya menganggap keluarganya salah. Mengapa tidak membawa dirinya ke rumah sakit biasa.

Jepri pada saat itu depresi akibat tuntutan pekerjaan dan masalah keluarga. Dia tak sadar perilakunya telah membuat kekacauan di sekolah tempat dia mengajar di Kota Medan.

"Ketika hampir satu bulan dirawat, saya kembali bekerja. Namun tingkah masih aneh, bahkan obat saya bakar. Saya anggap keluarga saya salah mengapa ke rumah sakit jiwa," ungkap pria kelahiran 1988.

Setelah melakukan pengobatan dan merasa pulih, Jepri tak lagi minum obat selama tiga tahun. Namun saat cita-citanya tak kunjung tercapai dia kambuh dan hidup di jalanan.

"Saat cita-cita bekerja di kapal pesiar tak tercapai akhirnya kambuh lagi, saat itu di Bali dan saya hidup di jalanan lagi," kata Jepri.

Pernah suatu waktu Jepri dipukuli masyarakat karena masuk rumah warga. Saat itu dia mendengarkan suara lagu rohani dan merasa terpanggil.

"Ada lagu rohani dari sebuah rumah, asal masuk karena terpanggil tapi dikira mau mencuri. Pernah lagi lihat jemuran mau ambil baju bekas, dipukuli warga," ujar Jepri.

Ketika meresahkan masyarakat di Bali, Jepri akhirnya dibawa ke dinas sosial. Di sana pihak kesehatan sempat menghubungi keluarga namun keluarga menolak.

"Setelah dari situ, keluarga menolak ketika dihubungi pihak rumah sakit," kata Jepri.

Berbagi kenyataan pahit telah Jepri alami, bahkan dia sempat ingin bunuh diri.

"Sempat saya mau bunuh diri, minum semua obat agar overdosis. Minum pemutih baju," ungkap Jepri.

Meski demikian, katanya, itu tak berhasil, dia tak mati.

Dalam proses pemulihan, Jepri sempat bertemu seorang suku Batak di rumah sakit Bali. Orang itu yang bantu dia berkomunikasi dengan keluarga dan proses pemulangan ke Sumatera Utara.

"Sampai di Sumatera Utara, di sebuah rumah sakit dokter bilang di otak kami ada zat yang berkurang atau berlebih jadi harus selamanya minum obat," ungkap Jepri.

Perlahan-lahan mengikuti proses pengobatan, sambung Jepri, akhirnya dia perlahan pulih. Dia sadar bahwa orang seperti mereka harus meminum obat selama-lamanya.

"Hati yang gembira adalah obat. Saya juga mengerti ketika sudah pulih bisa saja kambuh, sehingga harus terus minum obat," ujar Jepri.

Saat ini Jepri tinggal di Lumban Julu, Kabupaten Simalungun. Dia telah pulih, mandiri dan melakoni aktivitas sehari hari sebagai petani.

"Sekarang saya putuskan mau melayani, membantu ODGJ. Karena sudah saya alami bagaimana," kata dia.

ODGJ Kembali Produktif

Sebanyak dua ODGJ dari Rumah Langit tak lagi menganggur. Satu di antara relawan, Ali Hartono yang juga pengusaha kuliner, sadar bahwa penderita butuh kesibukan yang positif.

"Aku lihat ini penderita ngapain ya, mondar-mandir. Berpikirlah mengajak mereka kerja samaku," kata Ali.

Pada awalnya Ali terinspirasi dari ODGJ yang sudah pulih dan bekerja. Kalau orang lain saja memberikan kesempatan, mengapa pula ia tidak berani mengajak ODGJ bekerja.

"Aku terinspirasi dari ODGJ yang sudah pulih dan bekerja. Kalau mereka tidak ada aktivitas, maka akan semakin parah," ujar dia.

Ali kemudian mengajak seorang ODGJ bekerja di sebuah kedai kopi yang berada di pusat kota. Awalnya memang butuh adaptasi antar karyawan, hingga lama-kelamaan akhirnya mereka terbiasa.

"Kita jangan berharap lebih kepada mereka. Ketika diomongin nggak dijawab wajar, nggak nyambung dalam menjawab ya wajar, dimaki juga wajar," ujar Ali.

Selama setahun lebih ODGJ bekerja di tempatnya, Ali mengaku tak pernah malu. Bahkan ia bangga mengatakan kepada pelanggan bahwa yang bekerja adalah ODGJ.

Ali bilang selama dia berinteraksi dengan ODGJ, mereka tidaklah bodoh. Namun perlu berbagai pendekatan dan cara-cara berkomunikasi efektif.

"ODGJ tidak bodoh, Nila salah satu ODGJ diajak belanja cara mengajaknya harus berbeda. Butuh pendekatan," ungkap Ali.

Pada penghujung diskusi para orang tua ODGJ berharap ada pertemuan rutin untuk meningkatkan pengetahuan mereka.

"Memang kalau sekali pasti bingung. Selanjutnya kita jadwalkan untuk kembali pertemuan, mendampingi keluarga," kata Hartama, anggota Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia yang juga hadir.

Di akhir acara, para orang tua ODGJ mendapatkan sembako dari donasi yang dikumpulkan Togu.

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya