News Selasa, 18 Juni 2024 | 20:06

Sebuah Refleksi dari Suara Korban dan Tantangan Implementasi UU TPKS

Lihat Foto Sebuah Refleksi dari Suara Korban dan Tantangan Implementasi UU TPKS Sekretaris Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak DPP GAMKI, Steffi Graf Gabi.
Editor: Yohanes Charles

Oleh: Steffi Graf Gabi, Sekretaris Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak DPP GAMKI

Jakarta - Disahkannya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada Mei 2022 disambut dengan harapan besar oleh masyarakat Indonesia. UU ini diharapkan dapat memperkuat penanganan dan penegakan hukum terkait kekerasan seksual, mengatur lebih detail tentang berbagai jenis kekerasan seksual dan hak-hak korban, serta membuka peluang untuk mengusut kasus dengan minim bukti fisik yang sebelumnya sulit diatasi.

Namun, dua tahun setelah pengesahan, banyak keluhan masih terdengar dari aktivis, pendamping, korban, dan keluarga korban. Rasa takut dan pesimisme masih melingkupi para korban yang enggan melapor karena merasa sistem hukum tidak berpihak pada mereka.

Realita di lapangan memperlihatkan penanganan kasus kekerasan seksual yang memprihatinkan. Contoh kasus di Palangkara, di mana seorang polisi yang terbukti melecehkan anak hanya divonis dua bulan penjara meski jaksa menuntut tujuh tahun, menjadi bukti nyata lemahnya penegakan hukum (Kompas.id, Borneo.co.id).

Banyak kasus yang dilaporkan ke kepolisian mandek tanpa kejelasan, seperti dugaan kekerasan seksual oleh musisi VS terhadap mahasiswi MT di Ternate yang belum terselesaikan sejak Maret 2023 (KabarHalmahera.com). Kasus pelecehan terhadap 29 santriwati di Sumbawa juga masih belum diproses karena kekurangan bukti (Kompas.com, Republika.co.id).

Minimnya bukti sering menjadi alasan klasik aparat hukum untuk menghentikan penyidikan. Keterbatasan bukti awal seperti laporan korban, keluarga, dan pengakuan pelaku sangat mempengaruhi penegakan hukum.

Padahal, UU TPKS telah memperjelas sembilan jenis kekerasan seksual dan mengakomodasi alat bukti yang cukup untuk menjerat pelaku, seperti keterangan korban yang didukung oleh surat keterangan psikolog klinis atau psikiater.

Hak-hak korban, termasuk pemulihan dan restitusi, seringkali tidak dipahami dengan baik. Banyak korban enggan mengajukan restitusi karena tidak memahami bahwa ganti rugi tidak mengurangi hukuman pelaku (Republika.co.id). Penegak hukum harus lebih proaktif dalam mengedukasi korban tentang hak-hak mereka.

Sayangnya, meski UU TPKS sudah bisa digunakan secara formal, implementasinya belum membawa perubahan signifikan. Kurangnya kesamaan perspektif antara pemerintah, aktivis, pendamping, dan penegak hukum menjadi kendala utama.

Aktivis dan pendamping korban seringkali harus menggelar aksi massa untuk mendapatkan perhatian terhadap kasus-kasus yang sedang berjalan (detikJateng.com, cermat.co.id, kalesang.co.id).

Kementerian PPPA menyebutkan bahwa terdapat beberapa peraturan pemerintah dan peraturan presiden yang masih dalam proses penyelesaian untuk mendukung UU TPKS (kemenpppa.go.id). Peraturan pelaksana ini sangat penting untuk mencegah, menangani, dan menegakkan hukum kasus kekerasan seksual secara terintegrasi dari pusat hingga daerah.

Aparat penegak hukum, jaksa, dan hakim harus memiliki perspektif korban untuk memastikan penanganan kasus kekerasan seksual tidak intimidatif atau diskriminatif. Hanya dengan begitu, korban akan berani memperjuangkan hak-haknya dan mendapatkan keadilan yang layak.

Adalah tanggung jawab kita semua untuk mendorong Presiden dan Kementerian/Lembaga terkait segera menandatangani dan mengundangkan peraturan pelaksana UU TPKS demi menciptakan sistem hukum yang adil dan berpihak pada korban kekerasan seksual di Indonesia. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya