Simalungun - Dewan Pimpinan Pusat Partumpuan Pemangku Adat Budaya Simalungun (DPP PPABS) menolak klaim kepemilikan tanah adat oleh marga-marga non-Simalungun.
Secara khusus di Desa Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, dan Huta Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara.
Seturut dengan itu, lembaga tersebut melayangkan surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto guna menegaskan kembali status kepemilikan tanah ulayat (adat) di wilayah Kabupaten Simalungun.
Dalam surat bernomor 21/PPABS/SU/VII/2025, DPP PPABS menyatakan bahwa wilayah-wilayah tersebut merupakan bagian sah dari warisan Kerajaan-kerajaan Adat Simalungun yang telah berdiri sejak ratusan tahun silam.
“Kami menegaskan bahwa tidak ada tanah adat keturunan marga Siallagan di Parmonangan dan tidak ada tanah adat keturunan Ambarita di Sihaporas. Mereka bukan bagian dari silsilah Harajaon Simalungun,” tegas Ketua Umum DPP PPABS Jan Toguh Damanik dalam keterangannya, didampingi Ketua Bidang Hukum Hermanto Hamonangan Sipayung, dan Ketua Bidang Situs dan Cagar Budaya Sarmuliadin ST pada Kamis, 10 Juli 2025.
BACA JUGA: PT Toba Pulp Lestari Disebut Merampas Tanah Adat Kampung Parbulu Selama 34 Tahun
Dijelaskan bahwa wilayah Parmonangan merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Tanoh Jawa (marga Sinaga), sementara Sihaporas merupakan bagian dari Partuanon Sipolha Kerajaan Siantar (marga Damanik).
Penegasan ini juga diperkuat oleh bukti-bukti historis, seperti Acte Van Concessie tahun 1912 dan berbagai data kerajaan.
Surat itu juga merujuk pada hasil Focus Group Discussion (FGD) yang digelar bersama Pemerintah Kabupaten Simalungun dan para ahli hukum adat dari Universitas Sumatera Utara pada 10 Desember 2022 di Hotel Sapadia, Pematangsiantar.
Dalam forum itu ditegaskan bahwa tanah adat hanya dapat diklaim oleh keturunan langsung dari Harajaon Simalungun dan marga-marga yang diakui secara adat dan hukum.
PPABS turut menyampaikan kekhawatiran atas potensi konflik horizontal yang dapat terjadi akibat klaim sepihak yang tidak berdasar.
“Kami meminta Presiden agar persoalan ini diselesaikan sesuai ketentuan hukum, termasuk ketentuan dalam UU No. 41 Tahun 1999 dan PP No. 33 Tahun 2021, serta tidak merujuk pada klaim sepihak tanpa dasar adat dan historis,” kata Jantoguh.
DPP PPABS juga menanggapi keberadaan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dengan menyebut bahwa lembaga tersebut bukan institusi resmi pemerintah, melainkan organisasi masyarakat sipil yang tidak memiliki kewenangan legal untuk menetapkan wilayah hukum adat.
Ditegaskan bahwa setiap kebijakan terkait pengakuan tanah adat di Simalungun harus berlandaskan sejarah peradaban Simalungun dan mengacu pada hak waris kerajaan-kerajaan adat yang telah diakui.
“Klaim tanah adat oleh kelompok yang tidak berasal dari Harajaon Simalungun bukan hanya bentuk pelanggaran sejarah, tapi juga pelanggaran hak asasi terhadap masyarakat adat Simalungun,” tandas Jan Toguh Damanik. []