Papua - Sebanyak sembilan mahasiswa dari Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) Papua menjadi tersangka buntut aksi mimbar bebas di kampus tersebut pada 10 November 2022 lalu.
Terhadap enam orang dituduh dugaan tindak pidana melawan petugas sebagaimana diatur Pasal 214 KUHP junto 212 KUHP.
Kemudian tiga orang dugaan tindak pidana makar sebagaimana diatur pada Pasal 106 KUHP juncto Pasal 110 KUHP.
Merespons hal ini, Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menilai tindakan kepolisian merupakan bukti adanya upaya sistematik dan struktural untuk menyembunyikan tindakan pelanggaran hukum dan pelanggaran kode etik dilakukan oleh anggota Polres Kota Jayapura di kampus USTJ.
Disebutkan, pada prinsipnya “pemberitahuan secara tertulis tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan” sebagaimana diatur pada Pasal 10 ayat (4), UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Maka kehadiran personel Polres Kota Jayapura di lingkungan kampus tersebut pada 10 November 2022 saat aksi mimbar bebas mahasiswa dengan menggunakan pendekatan penanganan aksi anti huru hara sesuai Perkap Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penindakan Huru Hara atau Penanganan Aksi Anarkis sesuai Prosedur Tetap Kapolri nomor: Protap / 1 / X / 2010 Tentang Penanggulangan Anarki dipertanyakan legalitasnya.
"Jika alasannya hanya karena adanya dua perangkat aksi mimbar bebas bermotif Bintang Kejora, maka semestinya pendekatannya dilakukan secara humanis agar dapat mencegah terjadinya tindakan kekerasan baik oleh aparat kepolisian kepada massa aksi maupun sebaliknya oleh massa aksi terhadap aparat kepolisian," kata Emanuel Gobay dari koalisi dalam pernyataan tertulisnya diterima Opsi, Senin, 14 November 2022.
Disebutkan, pasca penerapan Perkap Nomor 2 Tahun 2019 dalam halaman Kampus USTJ terhadap mahasiswa yang menggelar mimbar bebas secara damai telah mengusik kegiatan ilmiah di lingkungan kampus USTJ.
Saat itu polisi menahan lima belas mahasiswa, yakni 1. Yohanes Logo, 2. Petrus Hubi, 3. Yosep Ernesto Matuan, 4. Stevanus Enembe, 5. Yohanes Mabel, 6. Devio Tekege, 7. Dani Mabel, 8. Manase Wenda, 9. Davidson Wenda, 10. Andrias Helembo, 11. Tethys Sembay, 12. Newius Maling, 13. Rein Klafle, 14. Edison Wombi, dan 15. Taolin Ignatius.
Polisi lalu membebaskan enam orang mahasiswa pada pukul 23:00 WIT tanggal 11 November 2022, sementara sembilan mahasiswa tetap ditahan dan dinaikkan statusnya menjadi tersangka.
Enam diantaranya berdasarkan laporan polisi nomor: LP/ A / 1993 / XI / 2022 / SPKT.SATRESKRIM / POLRESTA JAYAPURA KOTA / POLDA PAPUA tertanggal 10 November 2022.
Baca juga:
Polisi Tetapkan Delapan Orang Tersangka Pengibar Bendera Bintang Kejora di Papua
Tiga orang tentang dugaan tindak pidana makar sebagaimana diatur pada Pasal 106 KUHP juncto Pasal 110 KUHP berdasarkan laporan polisi nomor: LP/A/1992/XI/2022/SPKT.SATRESKRIM/POLRESTA JAYAPURA KOTA/POLDA PAPUA tertanggal 10 November 2022.
Menurut koalisi, kepada mahasiswa Papua yang ditahan ada yang bagian jidatnya bengkak dan bibir terluka diduga akibat tindakan penganiayaan atau tindakan pengeroyokan saat penangkapan.
Sedangkan menyangkut tuduhan Pasal 106 KUHP juncto Pasal 110 KUHP berdasarkan pengalaman, ada satu kasus yang awalnya dituduhkan makar hanya karena dalam aksi demonstrasi menggunakan atribut Bintang Kejora, namun akhirnya dibebaskan pengadilan tinggi sesuai putusan perkara nomor: 27/PID/2022/PT JAP.
Koalisi menilai, polisi tengah berupaya secara sistematik dan struktural untuk menyembunyikan tindakan pelanggaran hukum dan pelanggaran kode etik anggotanya di dalam lingkungan kampus USTJ.
Koalisi mendesak penyidik Polresta Jayapura bertindak secara objektif. Terhadap fakta adanya dugaan tindakan penganiayaan atau tindakan pengeroyokan yang dialami oleh beberapa mahasiswa dilakukan penegakan hukum.
Diungkap juga dugaan tindakan menyalahgunakan kewenangan sebagaimana diatur pada Pasal 6 huruf q, PP Nomor 2 Tahun 2003 tentang Disiplin Anggota Polri sewajibnya dilakukan penegakan hukum.
Koalisi kemudian mendorong dilakukan upaya hukum restorative justice sesuai dengan ketentuan Surat Edaran Kapolri nomor: SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Pidana demi mewujudkan prinsip perlakuan yang sama di depan hukum demi menghindari tindakan kriminalitas terhadap mahasiswa Papua menggunakan Sistem Peradilan Pidana (SPP).
"Kapolda Papua dan Kapolresta Jayapura segera hentikan praktik kriminalisasi terhadap sembilan mahasiswa Papua dan terapkan restorative justice penyelesaian kasus sembilan mahasiswa Papua. Dan kami meminta jangan dilindungi oknum polisi pelaku tindak pidana kepada mahasiswa Papua," kata Emanuel.[]