Hukum Kamis, 24 Februari 2022 | 17:02

Uji Ambang Batas Pencalonan Presiden Kandas di Mahkamah Konstitusi

Lihat Foto Uji Ambang Batas Pencalonan Presiden Kandas di Mahkamah Konstitusi Prabowo Subianto dan Presiden Jokowi. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan pengujian UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu yang dimohonkan Lieus Sungkharisma tidak dapat diterima.

“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan nomor: 5/PUU-XX/2022 yang digelar MK pada Kamis, 24 Februari 2022.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebut, mahkamah berpendapat terkait dengan argumentasi pemohon yang menyatakan parpol hanyalah kendaraan bagi para capres dan cawapres.

Sedangkan penerima manfaat utama dari penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden adalah warga negara termasuk pemohon, hal tersebut adalah bukan persoalan yang mendasar dalam permohonan a quo.

“Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Makna dari kedaulatan berada di tangan rakyat, yaitu bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan,” jelas Arief dilansir dari situs MK.

Arief menjelaskan, perwujudan kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan melalui pemilu sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih pemimpin melalui pilpres yang dipilih dalam satu pasangan secara langsung.

Selanjutnya, sistem pemilu bangsa Indonesia merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Menurutnya, pelaksanaan pemilu dikatakan berjalan secara demokratis apabila setiap warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dapat menyalurkan pilihannya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Setiap pemilih hanya dapat menggunakan hak pilihnya satu kali dan mempunyai nilai yang sama, yaitu satu suara.

Sementara yang dimaksud dengan peserta pemilu adalah parpol untuk pemilu anggota DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol untuk pilpres.

Dengan demikian, sambung Arief, anggapan potensi kerugian yang diuraikan oleh pemohon tidak berkaitan dengan isu konstitusionalitas norma a quo, sehingga mahkamah berpendapat pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

Baca juga: Tutup Peluang Sandiaga, Prabowo Capres Tunggal Gerindra di Pilpres 2024

“Sehingga, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan," kata Arif.

Lieus mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih dalm pilpres.

Ia mengatakan Pasal 222 UU Pemilu mengharuskan pasangan capres dan cawapres memenuhi “persyaratan perolehan kursi partai politik atau gabungan partai politik pengusul paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional” bertentangan dengan Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945.

Menurut dia, keberlakuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) tidak memenuhi kedua syarat tersebut. Sebab, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah terang mengatur persyaratan pengusulan capres dan cawapres.

Menurutnya, secara konseptual konstruksi normatif Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 meletakkan dua kepentingan secara bersamaan, yaitu hak untuk memilih dan hak untuk dipilih sebagai hak konstitusional warga negara.

Sehingga, lanjutnya, inkonstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu juga berkolerasi pada pelanggaran hak konstitusionalnya, yaitu mendapatkan sebanyak-banyak pilihan pemimpin yang akan menyelenggarakan pemerintahan pada Pilpres 2024.

Dalam petitumnya, dia memohon MK mengabulkan permohonannya. Selain itu, dia meminta agar MK menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya