Karanganyar – Yu Tika resah mendapati anaknya yang bertambah umur, tapi anaknya tak kunjung tinggi. Bahkan jauh di bawah anak-anak seusianya. Mereka menyebut anaknya hanya seukuran cerek (alat memasak air). Padahal, ukuran tubuh Yu Tika dan suaminya, Ompong, normal.
Usut punya usut, ternyata Yu Tika mengeluhkan jatah belanja dari suaminya yang hanya Rp10.000 per hari, itu pun masih harus menyisakan Rp2.500. Akibatnya, asupan pangan keluarga mereka seadanya, asal kenyang, tanpa memperhatikan kandungan gizinya. Kondisi itu membuat pertumbuhan anak melambat, terutama tinggi badannya.
Berbeda dengan keluarga Gunder dan Siska. Meski Siska memiliki badan yang kecil, tapi pertumbuhan anaknya normal. Tubuhnya pun tinggi, bahkan mendekati tinggi bapaknya.
Yu Pika curiga anaknya termasuk stunting. Dia pun mendatangi rumah keluarga Gunder untuk meminta penjelasan mengenai kondisi anaknya. Mereka pun memanggil Pak RT untuk meminta penjelasan mengenai stunting.
Cerita itu mengemuka dalam Pelayanan Informasi Kebijakan Daerah (PIKD) dan nonton bareng, yang digelar di Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Jawa Tengah, di Pendapa Nglurah, Kelurahan Tawangmangu, Kecamatan Tawangmangu, Karanganyar, Selasa 19 Juli 2022 malam.
Tampil dalam kesempatan itu, Forum Komunikasi Media Tradisional Kecamatan Tawangmangu.
Lantas apa itu stunting? Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Tengah Widwiono menyampaikan, stunting merupakan gagal tumbuh kembang karena kurang gizi kronis. Stunting memiliki ciri tubuh pendek.
“Tapi pendek belum tentu stunting,” terangnya.
Ditambahkan, ada tiga kerugian stunting. Yakni, pasti pendek, sehingga mengurangi kesempatan untuk mencari kerja yang mensyaratkan tinggi badan, seperti TNI, Polri, pramugari, dan sebagainya. Orang stanting biasanya telat mikir, dan pada usia lebih dari 45 tahun cenderung gampang sakit.
“Bapak Presiden RI Joko Widodo Bapak Gubernur, Bupati semua peduli stunting. Kalau bisa tidak ada (stunting) sama sekali. Jangan sampai di Karanganyar ada masyarakat yang kena stunting,” ujarnya.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Jateng Wahyu Setianingsih menambahkan, mengingat pendek belum tentu stunting, dia meminta masyarakat yang anaknya pendek, agar segera meriksakan untuk memastikan apakah itu pendek atau stunting. Sebab, jika anak terkena stunting, akan menjadi generasi yang tidak bisa mikir.
“Bangsa dan negara akan rugi generasinya haho, karena intelegensi menurun. SDM ini yang harus dipikirkan. Mahasiswa bisa menjadi agent of change, mengajak remaja tidak anemia, supaya tidak melahirkan generasi yang stunting,” jelasnya.
Tak hanya asupan gizi yang memadai, imbuh Wahyu, sanitasi atau kesehatan lingkungan mesti diperhatikan. Sebab, sanitasi yang kurang bisa berisiko diare, yang membuat gizi makanan tidak terserap sempurna.
Untuk itu, Wahyu berharap pencegahan stunting menjadi gerakan bersama, agar melahirkan generasi berkualitas yang bebas stunting.
Baca juga:
Usai Bagi-bagi Jatah, Dewan Malu Beberkan Nama Pj Bupati Abdya
Ridwan Kamil Dorong Bank Bjb Respons Tiga Disrupsi
Kepala Diskominfo Jateng Riena Retnaningrum menyampaikan, pemprov memiliki sejumlah program pencegahan stunting. Seperti Jo Kawin Bocah untuk mencegah pernikahan usia dini.
Ada pula Jateng Gayeng Nginceng Wong Meteng (5NG) untuk memantau ibu hamil di wilayah masing-masing, mulai dari memperhatikan asupan gizi, pemeriksaan kesehatan, hingga pascamelahirkan. Sehingga diharapkan tidak melahirkan anak stunting.
Dalam kesempatan itu juga ditampilkan arahan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang meminta agar masyarakat mencegah stunting dengan tiga hal. Menghindari pernikahan usia anak, memperhatikan 1.000 hari pertama kehidupan, serta ikut Keluarga Berencana.