Pilihan Rabu, 27 April 2022 | 11:04

Buah Perjuangan Perempuan dari Masa ke Masa

Lihat Foto Buah Perjuangan Perempuan dari Masa ke Masa Steffi Graf Gabi, Founder Sabua Perempuan Maluku Utara. (Istimewa)

Oleh* Steffi Graf Gabi (Mahasiswa Magister Biologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga)

 

Perjuangan Kartini dan deretan pejuang perempuan di masa lalu sedikit banyak telah membuahkan hasil. Upaya memperoleh akses ke berbagai bidang yakni pendidikan, kesehatan, ekonomi dan politik hari ini dinikmati. Meskipun masih ada kesenjangan tetapi perlu diakui bahwa ada kemajuan yang perlu diapresiasi. 

Apalagi, adanya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah wujud keseriusan negara dalam menyediakan payung hukum sebagai solusi struktural dalam melindungi perempuan. 

Tulisan ini bertujuan untuk menampilkan pencapaian-pencapaian perempuan di berbagai bidang yang tak luput dari patriarki tentunya. Tidak sekadar mengutuki kesenjangan tetapi perlu mengapresiasi sekaligus menjadikannya semangat dalam melanjutkan perjuangan.

Perempuan dan Akses Pendidikan

Pendidikan yang diyakini oleh Kartini serta tokoh perempuan di masa lalu sebagai pintu masuk peradaban, pengentasan kemiskinan serta jalan keluar dari keterbelakangan pengetahuan menjadi salah satu dimensi pembangunan manusia saat ini. Kesadaran masyarakat, perempuan khususnya dalam hal menempuh pendidikan sudah sangat maju. 

Hal ini dilihat dari Harapan Lama Sekolah (HLS) perempuan yang lebih tinggi dari pada laki-laki menunjukkan bahwa perempuan berpeluang lebih lama bersekolah dibandingkan laki-laki, dan meningkat dari tahun sebelumnya. 

Perempuan berpeluang mengenyam pendidikan selama 13,03 tahun, sedangkan laki-laki selama 12,87 tahun, atau lebih lama 0,16 tahun dibanding laki-laki (BPS, 2020). 

Begitu juga di perguruan tinggi, fenomena putus kuliah perempuan lebih rendah dari pada laki-laki, yakni perempuan sebesar 38,42 persen 231.011 kasus dan laki-laki 370.322 atau 61,58 persen (Dirjendikti, 2020). 

Namun, rata-rata laki-laki sudah menikmati pendidikan selama 8,81 tahun, sedangkan perempuan menikmati pendidikan lebih cepat satu tahun yaitu selama 7,89 tahun, rata-rata lama sekolah perempuan sedikit lebih rendah dari laki-laki.

Keterbatasan finansial menjadi salah satu faktor penyebab putus sekolah dan kuliah. Perbedaan angka putus sekolah pada laki-laki dan perempuan juga tidak luput dari anggapan bias masyarakat tentang laki-laki sebagai pencari nafkah utama membuat anak laki-laki harus meninggalkan pendidikan turut serta membantu keluarga. 

Informasi tentang adanya pemberian beasiswa perlu disampaikan sampai ke daerah pedesaan dapat memudahkan keluarga miskin mengaksesnya. Dengan demikian, jika harapan lama sekolah pada laki-laki dan rata-rata lama sekolah pada perempuan meningkat, niscaya keduanya akan berjalan beriringan lebih setara di kemudian hari.

Perempuan dan Harapan Hidup

Berbagai permasalahan yang dialami perempuan berdampak juga pada kesehatan perempuan dan anak. Misalnya, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual dan pernikahan dini (Catahu, 2021). KDRT dan kekerasan seksual berdampak pada kesehatan biologis maupun mental perempuan. 

Sedangkan pernikahan dini turut berkontribusi pada tingginya angka kematian ibu yang mencapai 305 per 100.000 kelahiran (Bappenas, 2022) dan stunting (Restiana, 2020). Ini adalah beberapa permasalahan perempuan yang masih menjadi PR.

Lebih jauh melihat ada keunggulan perempuan dalam soal kesehatan. Bahwa dalam sepuluh tahun terakhir angka harapan hidup perempuan meningkat dan lebih tinggi dari laki-laki, yakni 73,33 dan laki-laki 69,44 pada 2019 (BPS, 2020). Perbedaan angka harapan hidup ditentukan oleh faktor genetik, gaya hidup. 

Secara biologis perempuan memiliki dua kromosom X (baca: kromosom) yang berperan menjaga kekebalan tubuh. Perempuan juga memiliki kadar estrogen (baca: estrogen) yang lebih dari pada laki-laki membuat daya tahan tubuh perempuan terhadap mutasi gen serta mendukung sistem imun. 

Estrogen dan kromosom X pada perempuan berfungsi pada munculnya lemak di bawah kulit (subkutan) pada perempuan (Beltekin, 2018). Sedangkan laki-laki memiliki lebih banyak lemak visceral di sekitar organ yang mana meningkatkan kerentanan terhadap penyakit kardiovaskular. Selain faktor biologis, gaya hidup juga berdampak pada kesehatan perempuan.

Menurut konstruksi budaya bahwa perempuan harus tampil cantik, bersih dan wangi mendorong perempuan lebih memperhatikan pola hidup bersih dan sehat. Berbeda dengan laki-laki yang kebiasaan merokok yang lebih tinggi pada laki-laki, mengonsumsi alkohol, bergadang, serta cenderung kurang berperilaku hidup bersih dan sehat.

Dari sini dapat dimaknai bahwa secara fisik perempuan telah terberi tubuh yang memiliki sistem pertahanan lebih dari pada laki-laki, yang jika ini dibarengi dengan konsistensi gaya hidup sehat maka peluang perempuan untuk sehat di masa mendatang akan lebih tinggi dari pada laki-laki, bahkan berkontribusi memperkecil beban negara.

Disparitas Ekonomi dan Perempuan

Diskriminasi Gender dalam bidang ekonomi, di tempat kerja khususnya masih terjadi. Pemberian hak cuti menstruasi, hak cuti melahirkan dan menyusui belum sepenuhnya dijamin pemberi kerja, termasuk dalam pemberian upah. 

Dalam hal pemberian upah, pengeluaran per kapita perempuan dan laki-laki sama-sama mengalami peningkatan, tetapi masih terdapat kesenjangan. 

Data BPS 2020 melaporkan bahwa rasio pengeluaran per kapita hingga pada tahun 2019 hanya sebesar 58,26 persen dibandingkan laki-laki. Ini sejalan dengan lebih rendahnya gaji perempuan dari laki-laki. Mirisnya, kesenjangan upah pun terdapat pada jenjang pendidikan yang sama dengan laki-laki. 

Ini adalah wujud ketidakadilan gender, subordinasi perempuan. Perempuan mestinya dipandang sebagai subyek yang harus dihargai sebagaimana kualitasnya bukan pembedaan berdasarkan jenis kelamin. Upaya mengikis praktik subordinasi ini dengan berani mengkritisi kebijakan semacam itu.

Perempuan dalam Politik

Partisipasi perempuan di parlemen mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Jika dirunut sejak tahun 1955 terlihat jelas kesenjangannya. Pada 1955 persentase perempuan hanya 5,88 persen sedangkan laki-laki 94,12 persen. 

Seiring berjalannya waktu terus mengalami peningkatan hingga mencapai 20 persen pada 2019. Demikian halnya posisi perempuan dalam pengambilan keputusan, hanya ada 2 perempuan yang menduduki jabatan pimpinan dari 19 jumlah jabatan pada 2019 (BPS, 2020). 

Data ini menunjukkan bahwa pimpinan lembaga legislatif masih didominasi laki-laki. Sedikitnya persentase keterwakilan perempuan di parlemen bukan berarti perempuan tidak berminat dengan politik. Faktanya, banyak perempuan yang mencalonkan diri tetapi tidak terpilih.

Selain marginalisasi partai, tampaknya, internalisasi konstruksi gender melahirkan kepercayaan publik yang masih minim terhadap perempuan. Upaya meningkatkan kapasitas diri sembari menggalang kekuatan bersama mendukung perempuan-perempuan berpartisipasi dalam politik guna menghasilkan kebijakan-kebijakan yang adil gender di masa mendatang.

Perempuan dalam Bidang Profesional

Seperti halnya beberapa sektor tersebut di atas, kemajuan perempuan sebagai tenaga profesional juga adalah pencapaian keberhasilan. Pada 2019, perempuan yang menduduki posisi manajer mengalami peningkatan hingga 30,63 persen dari laki-laki-69,37 persen (BPS, 2020). 

Meskipun masih lebih rendah dari laki-laki tetapi kemajuan dalam hal kepemimpinan dan manajemen di ranah publik mampu menurunkan persentase jabatan manajer laki-laki. Ini berkorelasi dengan partisipasi perempuan bersekolah, sehingga penguatan pendidikan perempuan harus terus ditingkatkan.

Akhirnya, pencapaian-pencapaian perempuan hari ini adalah tanda majunya peradaban. Peningkatan angka harapan hidup, peluang lama sekolah, pengeluaran per kapita serta partisipasi perempuan dalam politik hingga disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual  (UU TPKS) adalah langkah maju. 

Data-data di atas memantik perempuan untuk tetap optimis bahwa perempuan menjadi generasi berkualitas di masa mendatang. Meskipun tertatih tetapi terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. 

Tidak mengapa, sebab lahir dan tumbuh dalam konteks yang kental dengan budaya patriarki membutuhkan daya dan upaya lebih untuk bisa muncul ke permukaan. Perempuan harus melawan dirinya sendiri, keluarga, lingkungan sosial, serta negara yang berwajah patriarki. Salam Setara![]

Rabu, 27 April 2022

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya