News Selasa, 25 Oktober 2022 | 13:10

Buntut Kasus Gagal Ginjal Akut, Segera Selidiki Perusahaan-Perusahaan Farmasi

Lihat Foto Buntut Kasus Gagal Ginjal Akut, Segera Selidiki Perusahaan-Perusahaan Farmasi Ilustrasi anak. (Foto: Kemenkes)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Terjadi lonjakan kasus akibat Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal. Sesuai data Kementerian Kesehatan sebanyak 206 anak mengalaminya dan 99 nyawa diantaranya melayang.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI yang mengamati kasus ini, menyayangkan lemahnya fungsi pengawasan dari pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 

"Pemerintah berdasarkan kewenangannya perlu segera melakukan penyelidikan terhadap perusahaan-perusahaan farmasi produsen dan penyedia jenis obat cair/sirup yang diduga mengandung Etilen Glikol dan Dietilen Glikol," kata Ketua YLBHI Muhammad Isnur dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 25 Oktober 2022. 

Menurut dia, jika ditemukan adanya pelanggaran hukum, maka Pemerintah harus mengambil tindakan tegas berupa tindakan administratif pencabutan izin sementara atau izin tetap sesuai ketentuan Pasal 188 Ayat (3) UU Kesehatan dan diteruskan ke tahap Pro Justitia berdasarkan ketentuan Pasal 196 UU Kesehatan.

Dalam aturan itu disebutkan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu dapat dipidana dengan penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).” 

Selain itu kata Isnur, keluarga korban juga dapat menuntut ganti rugi materiil maupun non-materiil terhadap perusahaan produsen dan penyedia obat cair/sirup dan kepada Pemerintah karena kelalaiannya melakukan pengawasan sehingga menyebabkan hilangnya nyawa warga negara.

Baca juga:

Kemenkes: 38 Pasien Gangguan Gagal Ginjal Akut Dinyatakan Sembuh

YLBHI kata dia, juga mengingatkan pemerintah untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian agar penanganan kasus ini tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya terhadap anak.

UU Perlindungan Anak menegaskan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Dan setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang.

Sementara itu, respons Kemenkes melalui surat edaran kepada seluruh layanan faskes untuk tidak meresepkan obat dalam bentuk cair/sirup tanpa menyiapkan alternatif obat justru berpotensi melanggar hak-hak kesehatan bagi anak berupa hilangnya akses memperoleh obat-obatan. 

"Pemerintah seharusnya mengambil langkah perlindungan komprehensif bagi anak, yang meliputi pencegahan yang efektif dengan tidak sebatas larangan namun juga menyiapkan alternatif obat, melakukan rehabilitasi terhadap korban anak yang terindikasi mengalami dampak, memposisikan kasus ini sebagai prioritas dengan memaksimalkan seluruh layanan dan fasilitas kesehatan," kata Isnur. 

Tidak kalah penting, pemerintah agar memaksimalkan peran serta masyarakat dalam penanganan kasus ini oleh karena tanggung jawab terhadap perlindungan anak bukan hanya di tangan pemerintah melainkan ada pada orang tua, keluarga dan masyarakat. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya