Taput - Panitia Khusus atau Pansus Toba Pulp Lestari DPRD Tapanuli Utara (Taput) rekomendasi pencabutan izin konsesi PT TPL, disampaikan dalam rapat DPRD setempat pada Selasa, 25 November 2025.
Pansus beranggotakan 15 orang dibentuk pada Juni 2025 lalu. Sabungan Parapat selaku ketua pansus menyampaikan sejumlah pertimbangan mengapa pihaknya merekomendasikan pencabutan izin konsesi PT TPL.
Sebelum membuat rekomendasi, pansus mulai bekerja melaksanakan berbagai kegiatan pembahasan melalui rapat-rapat, kunjungan kerja, serta konsultasi/koordinasi, sejak 10 Juni 2025 hingga Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk pada 20 Oktober 2025
Untuk penyusunan dan finalisasi rancangan rekomendasi, pansus telah melaksanakan rapat internal pada 13 dan 21 November 2025.
Berdasarkan hasil rapat, peninjauan lapangan, audiensi, serta berbagai data dan aspirasi yang diterima, pansus menyusun pertimbangan dengan mengelompokkan berbagai isu dan temuan ke dalam beberapa aspek, yaitu Ekonomi, Sosial Budaya, Hukum, dan Lingkungan/Ekologi.
Aspek Ekonomi
Dari sisi ekonomi, pansus melihat kegiatan PT TPL menghadirkan lapangan kerja bagi masyarakat, terbentuknya PKR, serta program CSR dalam bidang pertanian, pendidikan, kesehatan, perbaikan infrastruktur, seni budaya, dan keagamaan.
Tercatat warga Taput yang bekerja di PT TPL berjumlah 79 orang atau hanya 7,02% dari total SDM perusahaan sebanyak 1.125 orang.
Jumlah penduduk usia produktif di Taput berdasarkan data BPS mencapai kurang lebih 215.000 orang, sehingga proporsi SDM asal Taput di PT TPL hanya sekitar 0,04% dari total usia produktif.
Dengan asumsi rata-rata upah pekerja sebesar Rp. 2.650.000 per bulan, maka estimasi biaya gaji tahunan yang diterima 79 pekerja tersebut hanya sekitar Rp. 2,51 miliar.
Angka ini menurut pansus, sangat kecil apabila dibandingkan dengan nilai kerusakan lingkungan, hilangnya fungsi ekologis, serta dampak sosial dan budaya yang ditimbulkan akibat operasional perusahaan, sehingga menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara manfaat ekonomi yang diterima masyarakat lokal dan beban kerusakan yang mereka tanggung.
Rusaknya infrastruktur akibat over tonase pengangkutan perusahaan yang berdampak pada mobilitas masyarakat, kenyamanan, keselamatan pengguna jalan, berdampak pada ekonomi masyarakat.
Perekonomian masyarakat petani merosot akibat berkurangnya lahan pertanian masyarakat, seiring dengan pertumbuhan penduduk dan majunya teknologi pertanian, lahan yang saat ini sudah tidak memadai untuk kebutuhan lahan pertanian.
Menurunnya kesuburan tanah akibat perubahan ekosistem dan pola tanam yang tidak seimbang, perpindahan hama dari tanaman eukaliptus ke lahan masyarakat sebagai dampak penyemprotan hama oleh perusahaan.
Terganggunya habitat hewan di hutan, antara lain kera, monyet mengakibatkan hewan-hewan tersebut merusak/mengganggu tanaman pertanian/perkebunan masyarakat, salah satu contoh adalah produksi andaliman di Dusun Sampinur, Desa Horisan Ranggitgit, Kecamatan Parmonangan, sehingga berkurangnya produktivitas dan menurunnya pendapatan petani lokal.
Operasional perusahaan yang memanfaatkan lahan luas untuk hutan tanaman industri menyebabkan berkurangnya lahan pertanian masyarakat serta terganggunya kawasan pangan lokal sehingga berpotensi menghambat capaian Program Ketahanan Pangan Nasional.
Hilangnya hak masyarakat atas tanah dan masuknya lahan masyarakat (perkampungan/huta) ke dalam area konsesi yang berdampak pada produktivitas pertanian dan sumber ekonomi masyarakat.
Menurunnya pendapatan masyarakat dan terganggunya sejarah budaya kemenyan karena rusaknya lahan kemenyan dan ekosistem tempat kemenyan tumbuh.
Aspek Sosial dan Budaya
Dari aspek Sosial dan Budaya menurut pansus, sesuai aspirasi masyarakat yang disampaikan pada aksi damai 31 Januari 2025 dan aksi 27 Mei 2025 oleh Aliansi Gerakan Rakyat (Gerak) “TUTUP TPL”, berpotensi terjadinya gesekan di tengah-tengah masyarakat.
Konflik antara PT TPL dengan Masyarakat Hukum Adat Nagasaribu Onan Harbangan, Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborongborong.
Bahwa polemik terkait tuntutan penutupan PT TPL berkembang luas di tengah masyarakat, baik secara langsung maupun melalui media sosial.
Aksi demonstrasi yang berlangsung di Kabupaten Tapanuli Utara serta di berbagai daerah lain di Provinsi Sumatera Utara menunjukkan kuatnya aspirasi masyarakat atas permasalahan ini.
Isu tersebut bahkan telah menjadi persoalan berskala nasional dan mendapat perhatian serius dari berbagai tokoh masyarakat, pemerhati lingkungan, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (NGO), Organisasi Politik, serta para pemuka agama tingkat tinggi seperti pimpinan gereja HKBP, HKI, Gereja Katolik dan kaum ulama.
Secara nyata, berbagai agenda yang menyerukan penutupan PT TPL disampaikan secara intens baik melalui aksi dan pernyataan-pernyataan langsung maupun melalui media sosial seperti Facebook, TikTok, Instagram dan lain-lain. Pada sisi lain adanya masyarakat yang melakukan aksi mendukung PT TPL.
Luas lahan konsesi PT TPL secara keseluruhan adalah 167.912 hektare, dengan luas areal tanaman sebesar 46.205 hektare. Adapun di wilayah Taput, luas konsesi 48.941 hektare, dengan luas tanaman sebesar 10.198 hektare atau sekitar 21% dari total luas tanaman.
Memperhatikan luas areal tanaman di Taput yang mencapai 10.198 hektare, namun tenaga kerja asal daerah yang terserap oleh perusahaan hanya 7,02%, dampak ekonomi yang diterima masyarakat Taput sangat tidak sebanding dengan pemanfaatan lahan.
Keterlibatan tenaga kerja lokal yang sangat rendah dibandingkan luas lahan yang dimanfaatkan menunjukkan bahwa kontribusi ekonomi PT TPL terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat masih sangat minim.
Sebaliknya, beban ekologis dan sosial akibat kegiatan operasional perusahaan justru lebih besar daripada manfaat ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat
Penutupan akses jalan masyarakat menuju lokasi perladangan yang telah digunakan secara turun-temurun yang menghambat aktivitas pertanian dan mobilitas warga, menimbulkan keresahan pada masyarakat sekitar.
Musnahnya situs-situs budaya masyarakat adat seperti Parembasan dan Hau Sisadasada di Desa Tapian Nauli III, Kecamatan Sipahutar, serta situs adat seperti Mual, Onan, dan kawasan pemakaman adat.
Terjadinya konflik sosial yang dilatarbelakangi faktor historis, administratif, sosial-budaya, dan lingkungan, antara lain perubahan status lahan reboisasi (1977), penetapan hutan lindung tanpa verifikasi lapangan, terbentuknya KTH yang tidak sepenuhnya sejalan dengan struktur adat, dan dinamika otoritas adat seperti Raja Huta.
Pecahnya tatanan adat akibat pro-kontra terhadap aktivitas perusahaan, perbedaan sikap antar marga, terjadinya konflik antar marga terkait perebutan lahan, perbedaan klaim wilayah adat, serta ketidakpastian status tanah.
Terjadinya konflik masyarakat di Nagasaribu Onan Harbangan yang menunjukkan tumpang tindih lahan dan ketidakjelasan batas menimbulkan friksi sosial.
Konflik sosial akibat persoalan lahan terjadi hampir di seluruh komunitas Masyarakat Hukum Adat, bersifat sistemik dan meluas.
Kemenyan sebagai identitas budaya Tano Batak merupakan komoditas tradisional bernilai ekonomi, sosial, dan budaya serta menjadi ikon daerah, serta memiliki kualitas baik yang tidak ditemukan di daerah lainnya.
Aspek Hukum
Berikutnya dari pertimbangan aspek hukum, pansus menyebut, persoalan tata batas lahan di mana adanya perbedaan informasi antara perusahaan dan pemerintah daerah yang menimbulkan ketidakpastian status lahan, tumpang-tindih kawasan, serta potensi sengketa.
Ketidakjelasan lahan Masyarakat Hukum Adat yang beririsan dengan konsesi seluas ± 790 Ha sebagaimana terkait dengan SK Tanah Adat Komunitas Nagasaribu Onan Harbangan (SK.340/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/1/2022) dan belum adanya addendum atas SK Menteri terkait konsesi PT. TPL.
Hasil koordinasi Pansus DPRD Taput dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumut, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah I Medan, Balai Pengelolaan Hutan Lestari, serta Balai Perhutanan Sosial, menunjukkan bahwa dalam penanganan konflik antara PT TPL selaku pemegang Hak Konsesi Hutan Negara dengan Masyarakat Hukum Adat, masing-masing instansi saling melemparkan kewenangan atas tugas pokok dan fungsi.
Selain itu, instansi-instansi tersebut cenderung bersikap pasif dan menunggu adanya laporan tertulis maupun petunjuk dari pemerintah atasan, karena permasalahan ini dianggap sebagai domain kewenangan pemerintah pusat.
Fungsi Unit Kerja Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota juga tidak berjalan secara optimal. Instansi-instansi tersebut tidak menunjukkan fungsi pengawasan yang memadai serta tidak memiliki keberanian untuk melakukan verifikasi dan klarifikasi lapangan secara independen.
Bahkan, peta kawasan yang diterima pansus justru berasal dari pihak perusahaan, bukan dari Balai Kehutanan yang memiliki kewenangan dan kapasitas teknis di tingkat provinsi, sehingga menimbulkan keraguan terhadap validitas dan objektivitas data spasial yang seharusnya digunakan sebagai dasar penyelesaian permasalahan di lapangan.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan SK. 493/Kpts-II/1992 jo. SK. 1487/2021 belum sepenuhnya sesuai dengan dinamika lahan dan keberadaan Masyarakat Hukum Adat.
Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sehingga pengelolaan oleh perusahaan harus selaras dengan prinsip konstitusi tersebut dan menekankan untuk kemakmuran masyarakat.
Ketentuan mengenai enclave diatur dalam berbagai regulasi kehutanan, antara lain Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.62/MENLHK-SETJEN/2019 tentang Perubahan atas P.44/Menhut-II/2012.
Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa “enclave” adalah wilayah di dalam kawasan hutan yang telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh masyarakat secara turun-temurun sebelum penunjukan kawasan hutan, sehingga wilayah tersebut dapat dikecualikan (dikeluarkan) dari kawasan hutan negara melalui proses penataan batas dan verifikasi lapangan.
Namun dalam praktiknya, di wilayah konsesi PT TPL masih terdapat sejumlah kawasan enclave yang secara historis dan adat merupakan wilayah kelola masyarakat, tetapi dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak perusahaan.
Kondisi ini menimbulkan konflik tenurial (hak untuk menguasai, menggunakan, dan memanfaatkan suatu sumber daya atau posisi, yang seringkali mencakup aspek keamanan dan legitimasi hak tersebut) antara masyarakat dengan perusahaan, serta memperlihatkan ketidaktegasan pemerintah dalam menetapkan dan melindungi hak masyarakat atas wilayah adat dan lahan pertanian mereka.
Oleh karena itu, perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap batas-batas kawasan enclave di wilayah konsesi PT TPL serta pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dan petani lokal sesuai dengan prinsip keadilan dan amanat konstitusi.
Aspek Lingkungan/Ekologi
Pertimbangan dari aspek Lingkungan/Ekologi, pansus melihat dampak negatif penyemprotan pestisida pada konsentrasi tinggi yang menyebabkan tanah jenuh/tandus, matinya bakteri pengurai tanah, serta pencemaran aliran sungai yang digunakan masyarakat.
Tercemarnya sumber air bersih akibat penanaman eukaliptus di bantaran sungai dan penebangan/penanaman di kepala alur sungai (contoh: Sungai Aek Na Las Kecamatan Sipahutar).
Berpindahnya hewan hutan ke lahan masyarakat sebagai dampak terganggunya habitat akibat aktivitas perusahaan.
Berkurangnya sumber-sumber air bersih serta terganggunya debit air sungai akibat kerusakan daerah tangkapan air di kawasan hulu.
Meningkatnya potensi longsor dan erosi akibat praktik penanaman eukaliptus pada kawasan dengan kemiringan lahan di bawah standar.
Operasional PT TPL khususnya pada kawasan hulu sungai yang bermuara ke Danau Toba, telah menyebabkan kerusakan daerah tangkapan air.
Kondisi ini mengakibatkan daya dukung sungai-sungai menuju Danau Toba menjadi sangat terganggu.
Pada musim kemarau, debit air sungai menurun drastis, sementara pada musim hujan sering terjadi banjir.
Situasi serupa juga terjadi di Taput. Beberapa sungai yang pada bagian hulu terdapat aktivitas PT TPL mengalami pola yang sama, yaitu banjir pada musim hujan dan debit air yang sangat kecil pada musim kemarau, bahkan beberapa di antaranya mengalami kekeringan.
Kondisi ini berdampak langsung terhadap sektor pertanian masyarakat, seperti yang terjadi di Desa Ranggitgit, Kecamatan Parmonangan, di mana lahan pertanian tidak dapat dikelola oleh masyarakat.
Rusaknya hutan kemenyan yang menyebabkan hilangnya tutupan hutan dan terancamnya keberlanjutan budaya dan ekonomi masyarakat adat.
Kerusakan lingkungan dan degradasi alam secara umum akibat pembukaan lahan, penanaman eukaliptus, serta hilangnya vegetasi asli.
"Berdasarkan pertimbangan - pertimbangan yang telah disampaikan di atas, Pansus PT. Toba Pulp Lestari, Tbk DPRD Taput menyampaikan rekomendasi dan permohonan kepada Presiden Prabowo Subianto," kata Sabungan.
Pertama, memerintahkan Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup untuk mencabut izin konsesi yang selama ini diberikan kepada PT TPL, mengingat berbagai dampak negatif terhadap aspek ekonomi, sosial, budaya, ekologi/lingkungan, hukum dan HAM serta konflik lahan yang ditimbulkannya, khususnya di Kabupaten Taput.
Kedua, mengembalikan fungsi hutan kepada fungsi awal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni sebagai kawasan lindung, kawasan konservasi, dan kawasan hutan produksi yang dikelola secara berkelanjutan guna menjaga keseimbangan ekologis, melindungi keanekaragaman hayati, serta menjamin keberlanjutan sumber daya alam bagi kehidupan masyarakat
Ketiga, mengatur kembali pemanfaatan potensi lahan yang selama ini diberikan sebagai hak konsesi kepada perusahaan untuk didistribusikan kepada masyarakat lokal (non-korporasi) dalam rangka mendukung program Asta Cita sebagai visi dan misi Pemerintah Indonesia menuju Indonesia Emas 2045, khususnya dalam memperkuat ketahanan pangan nasional (swasembada pangan), demi memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjaga stabilitas ekonomi daerah.
Keempat mendorong Pemerintah dan Komnas HAM untuk segera mengambil langkah nyata dalam menindaklanjuti dugaan pelanggaran HAM yang muncul sebagai akibat aktivitas PT TPL.
Kelima, segera menetapkan regulasi perlindungan bagi masyarakat adat serta memastikan ketersediaan lahan pertanian yang memadai untuk mendukung Asta Cita, terutama dalam rangka memperkuat ketahanan pangan nasional.
Keenam, membuat regulasi dalam upaya melindungi tanaman khas masyarakat antara lain, kemenyan, andaliman yang menjadi warisan leluhur secara turun temurun dan memiliki nilai historikal dan ekonomis yang sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Ketujuh, mewujudkan atau melaksanakan amanah UUD 1945 pasal 33 ayat (3), yaitu bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sehingga pengelolaan oleh perusahaan harus selaras dengan prinsip konstitusi tersebut dan menekankan untuk kemakmuran masyarakat.
Salah seorang anggota pansus, Maradona Simanjuntak dari Partai NasDem membenarkan hasil laporan dan rekomendasi pansus tersebut.
Disebutnya, hasil laporan pansus sudah diterima Rapat Paripurna DPRD Taput pada Selasa, 25 November 2025 dan selanjutnya pimpinan dewan akan menjadwalkan waktu penyampaian rekomendasi dimaksud ke pemerintah atasan dalam waktu dekat.
"Benar Lae, langkah selanjutnya rekomendasi akan disampaikan ke pemerintah pusat dan provinsi," kata Maradona dihubungi Selasa malam. []