Jakarta - Komisi III DPR RI melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap 14 calon Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Jumat, 30 September 2022.
Calon komisioner yang akan diuji adalah:
- Abdul Haris Semendawai
- Amiruddin Al Rahab
- Anis Hidayah
- Anton Pradjasto Hardojo
- Atnike Nova Sigiro
- Beka Ulung Hapsara
- Chrisbiantoro
- Hari Kurniawan
- Prabianto Mukti Wibowo
- Pramono Ubaid Tanthowi
- Putu Elvina
- Rita Selena Kolibonso
- Saurlin P. Siagian
- Uli Parulian Sihombing.
Yang pertama diuji para anggota Komisi III adalah Abdul Haris Semendawai. Salah seorang anggota Komisi III, Arsul Sani dari PPP meminta pendapat Abdul Haris Semendawai soal pernyataan Ketua Komnas HAM yang pernah menyebut Irjen Pol Ferdy Sambo diduga adalah seorang psikopat.
Baca juga:
14 Calon Anggota Komnas HAM, Komisi III Belum Agendakan Fit and Proper Test
"Saya ingin tanya pendapat Bapak. Tentu setiap kementerian dan lembaga, seperti Komnas HAM bekerja sesuai tupoksi yang diatur dalam perundang-undangan. Baru-baru ini ramai kasus pembunuhan Brigadir Yosua. Komnas HAM terlibat aktif dalam penyelidikan. Saya minta pandangan saudara calon komisioner, komunikasi publik Ketua Komnas HAM. Saudara Ketua Komnas HAM mengatakan bahwa tersangka Irjen Pol Ferdy Sambo diduga psikopat. Pertanyaan saya, dalam perspektif saudara apakah tepat Komnas HAM masuk ke ranah yang seperti itu, menyampaikan pendapat ke publik, apakah itu tupoksi bagian kewenangan Komnas HAM," tanya Arsul.
Merespons hal itu, Abdul Haris Semendawai mengatakan perlunya strategi komunikasi publik Komnas HAM sehingga tidak semua informasi yang dimiliki, tidak begitu saja dipublikasikan. Karena itu bisa menimbulkan dampak yang tidak sedikit.
"Bahkan ada yang kadang-kadang yang menimbulkan ketidakpercayaan publik kepada Komnas HAM, bahkan ada slogan bubarkan Komnas HAM. Menurut saya ini merusak marwah Komnas HAM itu sendiri," katanya.
Dia kemudian menyoroti soal pelaksanaan tugas Komnas HAM, yang sudah ada panduan peraturan perundang-undangan, yakni UU No 39 Tahun 1999, yang lebih banyak pemantauan, dan UU No 26 Tahun 2020 yang memberikan kewenangan penyelidikan.
"Nah di sini juga sering dalam melaksanakan pekerjaan belum begitu jelas, mana yang dilaksanakan dalam kerangka UU No 39, mana dalam kerangka UU No 26. Ke depan perlu satu panduan yang jelas memastikan apalagi seperti komunikasi publik kasus per kasus perlu diperhatikan betul jangan sampai menyebutkan nama seseorang dengan penilaian yang negatif," katanya. []