Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR mengkritik keras pernyataan Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Agus Nugroho yang menyebut kekerasan seksual yang menimpa anak berusia 15 tahun oleh 11 orang di Kabupaten Parigi Moutong bukan perkosaan.
Irjen Agus menyatakan bahwa kasus dimaksud sebagai persetubuhan, atas dasar bahwa perbuatan tersebut bukan dengan paksaan melainkan dengan iming-iming, sehingga disebut persetubuhan.
Peneliti ICJR Maidina Rahmawati menyebutkan, pihaknya mencatat bahwa pernyataan polisi yang membedakan antara perkosaan dengan persetubuhan terhadap anak juga pernah dinyatakan sebelumnya.
Kapolsek Kalideres juga pernah menyatakan bahwa kekerasan seksual yang dialami oleh NN (17 tahun) yang dilakukan oleh orang dewasa berusia 42 tahun, bukan sebagai perkosaan, namun sebagai persetubuhan.
"Kami menyayangkan pernyataan-pernyataan tersebut, bersetubuh dengan anak adalah perkosaan atau dikenal dengan statutory rape. Pernyataan Kapolda tersebut seolah menurunkan tingkat kejahatan tersebut, padahal ancaman pidananya lebih besar," katanya dalam siaran pers tertulis, Kamis, 1 Juni 2023.
Maidina mengatakan, pernyataan polisi seperti itu sangat destruktif bagi pembaruan politik hukum di Indonesia.
Pernyataan tersebut menunjukkan pemahaman hukum yang parsial, tidak komprehensif, dan tidak sesuai dengan perkembangan komitmen hukum di Indonesia tentang kekerasan seksual.
Yang telah diperbarui dengan adanya UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan juga dengan adanya UU No. 23 tahun 2002 serta perubahannnya dalam UU No. 35 tahun 2014 dan UU No. 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
"Adanya aturan tentang persetubuhan anak ini bukan seperti yang dinarasikan oleh polisi, bahwa jika ada iming-iming menjadi turun menjadi persetubuhan. Justru sekalipun ada iming-iming, bujuk rayu, perbuatan itu tetaplah merupakan kekerasan seksual, bahkan level kejahatannya lebih berat," ujarnya.
Menurut dia, dalam UU Perlindungan Anak pengaturan ini memberikan degree atau level kejahatan persetubuhan kepada anak menjadi lebih berat, sekalipun dilakukan dengan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak tetap masuk ke dalam kategori kekerasan/ancaman kekerasan.
Hukumannya pun lebih berat dengan perkosaan. Jika dalam KUHP ancaman pidana maksimal 12 tahun, dalam UU Perlindungan Anak mencapai ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara.
"Bahkan apabila dilakukan oleh orang tertentu, misalnya pendidik, dalam kasus ini pelaku pertama diketahui sebagai guru, ancaman pidananya dapat bertambah 1/3," terangnya.
Maidina mengingatkan, polisi wajib memahami diskursus perlindungan anak bahwa setiap bentuk persetubuhan terhadap anak dengan bentuk cara apapun, kekerasan, ancaman ataupun rayuan sebagai perkosaan yang mutlak atau statutory rape.
Menurutnya, sama sekali tidak sulit memahami ini dan berempati pada korban anak. Polisi juga harus memahami perkembangan politik hukum yang ada di Indonesia, dengan adanya Pasal 4 ayat (2) UU TPSK, persetubuhan terhadap Anak adalah kekerasan seksual, juga dalam Pasal 473 ayat (2) huruf b UU No. 1 tahun 2023 tentang KUHP baru telah mengambil politik hukum bahwa persetubuhan terhadap anak juga merupakan bentuk perkosaan.
BACA JUGA: KPAI Tunggu Kinerja Irjen Panca Tangani Dugaan Perkosaan Siswi SD di Medan
Ditegaskannya, polisi adalah pintu masuk penanganan kasus dan garda terdepan korban kekerasan seksual berinteraksi dengan peradilan pidana.
Dalam Pasal 22 UU TPKS disebutkan bahwa penyidik melakukan pemeriksaan terhadap korban dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, martabat, tanpa intimidasi.
Tidak menjustifikasi kesalahan, tidak melakukan viktimisasi atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang menimbulkan trauma bagi korban atau yang tidak berhubungan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Hal ini menandakan kewajiban penyidik untuk tidak menyalahkan korban, apalagi menarasikan jika ada iming-iming maka level kejahatan menjadi turun.
"Sangat disayangkan ini terjadi," ujarnya.
ICJR kata Maidina, menyerukan agar polisi harus banyak mempelajari perkembangan pengaturan kekerasan seksual di Indonesia, dan perkembangan diskursus serta politik hukum tentang kekerasan seksual, yang sejalan dengan pemenuhan hak korban.
"Sangat disayangkan peningkatan pengetahuan polisi mengenai kekerasan seksual cukup minim," katanya.
Kedua, terhadap narasi yang menyalahkan korban, pimpinan polisi harus mengambil sikap dengan memberikan teguran ataupun sanksi yang lebih berat.
Ketiga, pendidikan gender harus masuk dan dipahami oleh polisi yang mayoritas laki-laki dan cenderung lekat dengan maskulinitas, menyalahkan korban apalagi menggali riwayat seksual korban dilarang oleh UU, dan hanya memperburuk citra polisi.
"Keempat, pendidikan di level kepolisian harus direformasi, munculnya pernyataan dari kepolisian di level setinggi Kapolda menunjukkan adanya masalah dalam pemahaman hukum, hal yang harusnya tidak terjadi di level penyidik, presiden harus mengambil langkah konkrit dan tegas," tandasnya. []