Hukum Selasa, 25 Oktober 2022 | 18:10

Polres Bogor Dikecam Karena Setop Kasus Kekerasan Seksual

Lihat Foto Polres Bogor Dikecam Karena Setop Kasus Kekerasan Seksual Polres Bogor. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengecam tindakan Polres Bogor yang menghentikan kasus kekerasan seksual.

Korban seorang perempuan, diperkosa empat pria. Kasus disetop dengan alasan korban sudah dikawinkan dengan pelaku. Keduanya kebetulan sama-sama bekerja di Kementerian Koperasi dan UKM RI.

Kasus pemerkosaan terjadi pada tahun 2019. Perkara ini menjadi sorotan publik karena terjadi ketika korban dan pelaku sedang melaksanakan tugas pekerjaannya. 

Alih-alih mendapat penyelesaian yang memulihkan, penyidikan kasus ini  justru dihentikan oleh kepolisian pada tahun 2020.

Melalui laman Twitter, Polres Bogor menerangkan “sudah ada perkawinan dan kesepakatan kedua belah pihak”. Karena merasa tidak mendapat keadilan dan kondisi korban tak kunjung membaik, keluarga korban memutuskan membuka lagi kasus ini pada tahun 2022 agar bisa maju ke pengadilan.

Genoveva Alicia dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam pernyataan mewakili sejumlah masyarakat sipil, baik ICJR, IJRS, Puskapa, dan LeIP mengatakan, penghentian penyidikan kasus kekerasan seksual karena penyelesaian melalui perdamaian, kesepakatan, atau perkawinan, bukan pertama kali terjadi di Indonesia. 

Pada awal tahun 2022, ramai pemberitaan perdamaian kasus perkosaan yang terjadi di Pekanbaru. Bahkan, di akhir tahun 2021, sempat beredar berita oknum kepolisian di Polsek Tambusai Utara yang mengancam korban perkosaan karena menolak penyelesaian kasus secara damai dengan pelaku melalui perkawinan antara korban dengan pelaku. 

Oleh oknum kepolisian, hal ini jamak disebut sebagai upaya untuk mencapai restorative justice atau keadilan restoratif. 

"Berkaca pada hal-hal tersebut, ICJR, IJRS, Puskapa, dan LeIP mengecam keputusan Polres Bogor untuk menghentikan kasus ini karena penyelesaian melalui kesepakatan damai dengan cara menikahkan pelaku dan korban yang disebut sebagai usaha restorative justice," kata Alicia, Selasa, 25 Oktober 2022.

Ditegaskannya, perkawinan antara korban dengan pelaku perkosaan tidak pernah menjadi jalan keluar yang tepat bagi korban untuk memperoleh keadilan. Keputusan ini, justru akan membawa korban pada masalah-masalah baru. Salah satunya, korban rentan menjadi korban kembali untuk kedua kalinya.

Kedua, pola perdamaian dalam kasus perkosaan seringkali diwarnai oleh intimidasi dari pihak pelaku maupun dari aparat penegak hukum (APH). 

Baca juga: 

Cegah Kekerasan Seksual, DPR Desak Kementerian Agama Terbitkan Permenag

Hal ini seringkali dilakukan pihak pelaku agar bebas dari jeratan hukum. Selain itu, penanganan restorative justice oleh APH seringkali berfokus pada kewenangan, efisiensi penegakan hukum, bahkan bertujuan untuk meminimalisir overcrowding rutan dan lapas, dengan mendorong penghentian perkara melalui kesepakatan damai atau mediasi. 

Pada akhirnya, korban tidak memperoleh keadilan dan menghambat korban memperoleh hak-hak yang seharusnya ia dapatkan. 

"Hal ini juga yang terjadi pada dalam kasus ini. Setelah kesepakatan damai terjadi, korban justru mendapatkan pengabaian dan akhirnya mengalami re-viktimisasi, di mana ia menjadi korban untuk kedua kalinya," terangnya. 

Ketiga kata dia, restorative justice tidak boleh dimaknai secara sempit sebagai penghentian perkara. Perkapolri 8/2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif seharusnya mengecualikan mekanisme penghentian perkara dalam kasus-kasus kekerasan seksual. 

Dalam kasus kekerasan seksual, relasi kuasa menjadi komponen yang tidak terpisahkan dari perbuatan. Hal ini menyebabkan kerentanan penyalahgunaan mekanisme restorative justice. 

Oleh karena itu kata Alicia, mekanisme restorative justice dalam konteks penghentian perkara melalui perdamaian, menjadi tidak ideal dilakukan pada perkara kekerasan seksual karena keberadaan relasi kuasa yang tidak imbang di antara antara korban, pelaku, dan aparat penegak hukum. 

ICJR, IJRS, Puskapa, dan LeIP kata dia, menegaskan dalam kasus-kasus perkosaan seperti ini, Kepolisian seharusnya hadir untuk mengakomodir kepentingan dan hak-hak korban, bukan malah mengintimidasi korban untuk menghentikan laporan. 

Kepolisian harus menghentikan segera praktik-praktik pelaksanaan restorative justice dalam kasus kekerasan seksual, karena saat ini restorative justice hanya dimaknai sebagai penyelesaian perkara, dan Pasal 23 UU TPKS sudah melarang mekanisme ini terjadi (kecuali terhadap pelaku anak). 

"Kami mendorong adanya upaya pra-peradilan atas penghentian perkara kasus ini, dan meminta hakim untuk memeriksa perkara dengan substansial," tukasnya.

Lebih lanjut menurutnya, untuk mencegah berulangnya kesalahan implementasi restorative justice di tahap kepolisian, pihaknya mendorong Kapolri untuk melakukan perubahan terhadap Perkapolri 8/2021 dan re-edukasi bagi jajaran Polri tentang perspektif yang lebih tepat dalam penggunaan restorative justice dalam penanganan perkara yang sesuai dengan definisi dan prinsip dasar restorative justice, salah satunya adalah pertimbangan terhadap kepentingan korban. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya