Jakarta - Di tengah pujian yang mengalir atas respons cepat Menteri ESDM Bahlil Lahadalia polemik tambang di Raja Ampat, muncul klaim mengaku tokoh muda dari Papua, tapi siapa yang mengakui?
Hari ini, gelar “tokoh muda Papua” tampaknya bisa disematkan dengan mudah. Cukup tampil di media, sebut nama asal daerah, lontarkan satu-dua pujian kepada pejabat, lalu tiba-tiba mengklaim dirinya sendiri sebagai tokoh muda yang mewakili jutaan suara anak muda Papua.
Itulah yang terjadi dengan Jefri Edi Irawan Gultom. Namanya mendadak muncul di berita nasional, mengapresiasi Menteri ESDM Bahlil Lahadalia atas penanganan masalah tambang di Raja Ampat.
Dalam kutipan itu, ia disebut sebagai “tokoh muda Papua.” Tapi izinkan kami bertanya dengan keras dan jujur, "siapa yang mengangkat dia sebagai tokoh muda Papua? Siapa yang memberi mandat,".
Kami yang hidup, jatuh bangun, dan tumbuh di Tanah Papua tidak pernah mendengar namanya dalam ruang-ruang perjuangan.
Ia tak dikenal di lingkaran masyarakat adat, tak hadir di barisan pemuda yang turun ke jalan menolak tambang di kawasan konservasi, dan tak tercatat dalam perdebatan publik soal masa depan ekologis Raja Ampat.
Jika hanya karena lahir besar atau berdomisili di bumi Cendrawasih lantas bisa mengklaim diri sebagai representasi Papua, maka itu penghinaan terhadap proses sosial dan perjuangan kolektif yang panjang.
Lebih jauh, pujiannya terhadap Bahlil justru mengerdilkan kompleksitas masalah yang dihadapi masyarakat adat selama ini.
Ia menutup mata terhadap proses perampasan ruang hidup, terhadap air mata keluarga nelayan, petani, seluruh rakyat Papua, terhadap kehancuran ekologis yang tak bisa dibayar dengan janji perizinan.
Pernyataan Jefri tak hanya prematur, tapi juga berbahaya—karena memberi kesan seolah persoalan tambang telah tuntas, padahal luka masih menganga.
Kita harus kritis terhadap segala bentuk representasi palsu yang dimobilisasi oleh kekuasaan.
Kita harus berani menyebut bahwa klaim sepihak seperti ini hanyalah bagian dari politik pencitraan yang menjauhkan rakyat Papua dari kendali atas nasibnya sendiri.
Jefri mungkin merasa dirinya tokoh muda Papua. Tapi menjadi tokoh bukan soal gelar atau ekspos media.
Ini soal pengakuan dari rakyat yang diperjuangkan. Dan hingga hari ini, kami tak pernah mengakuinya sebagai tokoh muda Papua. []