Jakarta - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkapkan kebijakan baru yang mengatur pencairan manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) setelah peserta BPJS Ketenagakerjaan berusia 56 tahun menimbulkan beragam spekulasi di kalangan buruh.
Salah satunya, kata Said, dana JHT sendiri tidak ada. Tak ayal, pemerintah mengatur dana untuk menjamin kesejahteraan pegawai atau buruh di hari tua itu hanya bisa dicairkan secara penuh di usia 56 tahun.
"Maka spekulasi timbul di internal, hampir di semua buruh, jangan-jangan uang itu tidak ada, kalau selalu ada kenapa harus ditunda pembayarannya sampai 56 tahun," kata dia dalam konferensi pers, Selasa, 15 Februari 2022.
Ia mengatakan JHT sendiri berasal dari iuran pegawai dan perusahaan terkait. Artinya, tidak ada uang pemerintah di sana. JHT merupakan tabungan sosial dari pekerja sehingga dapat diambil ketika pegawai berhenti bekerja. Termasuk jika mereka pensiun dini.
Secara terpisah, pakar kebijakan publik merangkap CEO Narasi Institute Achmad Nur Hidayat memperkirakan perubahan aturan pencarian JHT dapat menahan sekitar Rp 387,45 triliun iuran pekerja di BPJS Ketenagakerjaan.
Tak heran, muncul dugaan perubahan kebijakan itu dilakukan untuk mengatasi keterbatasan likuiditas pemerintah atau akan diinvestasikan lain untuk proyek-proyek infrastruktur.
"Tuduhan tersebut beralasan karena defisit APBN 2021 mencapai Rp 787 triliun dan BI tidak diizinkan lagi membeli SUN untuk menutupi defisit APBN tersebut," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang mengatur JHT baru bisa dicairkan saat memasuki usia pensiun atau 56 tahun.
Syarat lainnya untuk pencairan yakni peserta JHT meninggal dunia atau cacat total tetap. Peraturan itu menuai protes dari publik dan kalangan serikat buruh. []