Pilihan Kamis, 04 Januari 2024 | 15:01

Jika Mengajukan KIP Kuliah atau BIDIKMISI, Jangan Terlalu Berharap

Lihat Foto Jika Mengajukan KIP Kuliah atau BIDIKMISI, Jangan Terlalu Berharap Ranto Napitupulu. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Oleh: Ranto Napitipulu*

"Laura, kuatkan hatimu. Negeri ini memang belum mau berubah," bisik Echa, teman sekampus Laura, seraya menguatkan rangkulan tangannya di bahu Laura.

Alkisah, memasuki awal semester genap di kelas XII tahun 2023 lalu, didorong oleh keinginan bisa mengenyam pendidikan di bangku kuliah, Laura mengurus segala sesuatu yang kelak akan dia butuhkan untuk mengajukan beasiswa KIP Kuliah. Mulai dari SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) hingga ke perubahan data pekerjaan orang tua di KK, semua dia urus. 

Ayah Laura seorang pensiunan buruh pabrik kelapa sawit dan tidak berpenghasilan apa-apa lagi. Uang pensiunnya yang tidak seberapa disimpan untuk biaya hidup keluarga. 

Laura anak ke 3 dari 4 bersaudara. Abang Laura paling tua sudah tamat dari SMK, dan sudah bekerja. Tetapi hanya bekerja sebagai buruh panen dan buruh muat sawit saja karena hanya lulusan SMK. Tahu sendirilah. Cari kerja memang susah. Lapangan kerja sangat minim.

Kakaknya Laura, persis di atas Laura, masih kuliah. Masih di semester 6 kemarin itu. Adik Laura yang bungsu masih SMP. Akan masuk SMA nanti ketika Laura masuk kuliah. 

Singkat cerita, Laura mengajukan permohonan beasiswa KIP Kuliah lewat web yang tersedia, bersamaan dengan saat dia mendaftarkan diri menjadi peserta SNBT (Seleksi Nasional Berbasis Test). 

Pada saat pengumuman hasil SNBT, Laura diumumkan diterima sebagai mahasiswa di salah satu PTN di Medan, di FKG. Tetapi berita hasil pengajuan beasiswa KIP Kuliahnya belum ada.

Laura memang tergolong siswi yang pintar. Sejak SD nilai akademiknya selalu bagus. Hal ini jugalah yang mendorong dan meyakinkan Laura bisa diterima di PTN, mewujudkan keinginannya dapat mengenyam pendidikan di bangku kuliah dan kelak menjadi dokter gigi. 

Waktu berjalan. Laura pun mengikuti hari-hari kuliah. Ia tinggal di kost-kostan yang tidak jauh dari kampus.

Oleh karena sesuatu hal, antara lain karena keterbatasan waktu dalam mencari kosan yang murah (keluarga Laura bermukim di salah satu perkebunan milik swasta di pelosok Riau), Laura mendapat kosan yang agak mahal menurut ukuran ekonomi mereka. 

Berharap bahwa anaknya akan mendapat beasiswa KIP Kuliah, sang ayah tidak terlalu mempermasalahkan biaya kosan itu. Perhitungan sang ayah, selain tahun depan bisa mencari kosan yang lebih murah, uang kuliah anaknya akan ditanggung oleh pemerintah lewat program beasiswa KIP Kuliah. Kalau UKT anaknya ditanggung oleh pemerintah lewat program beasiswa KIP Kuliah itu, biaya kost dan biaya makan Laura bisa dia usahakan lewat kerja apa saja. Jadi kuli bangunan, berkebun sayur-mayur, atau apa saja. 

Setelah menjalani masa kuliah sekitar 3 bulan lebih, berita itu datang. Pengajuan KIP Kuliah Laura tidak lolos. Langit terasa seperti runtuh menimpa kepala Laura waktu itu. Harapan Laura satu-satunya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi itu adalah beasiswa KIP Kuliah. Dengan tidak lolosnya KIP Kuliah itu, sudah pasti tidak ada yang bisa diharapkan.

Dua hari setelah pengumuman tidak lolosnya KIP Kuliah itu, Laura mencoba menghadap pihak kampus. Maksudnya meminta semacam peninjauan ulang atas pengajuan KIP Kuliahnya dan memberitahu, kalau beasiswa KIP Kuliah itu adalah satu-satunya harapannya. 

Hasilnya nol. Orang yang ditemui oleh Laura hanya banyak-banyak angkat bahu saja seraya menegaskan bahwa UKT Laura berada di kelompok masyarakat ekonomi mampu. Kayak orang bule orang itu. Pakek angkat-angkat bahu kalau bicara. 

Dan ketika Laura berurai air mata seraya mengatakan akan pulang dan tidak jadi kuliah, orang itu hanya angkat bahu saja. *

Cerita para mahasiswa dan mahasiswi, katanya, sudah umum diketahui bahwa cerita soal ketidaktepatan pemberian beasiswa KIP Kuliah dan BIDIKMISI yang diurusi oleh pemerintah lewat Kemendikbud berkolaborasi dengan pihak kampus ini sudah lama menjadi gunjingan. Setali tiga uang dengan pemberian BLT dan RASKIN kepada masyarakat. 

Kesannya, seleksinya cukup ketat, teliti dan cermat. Dari kesan itu kita menduga penerimanya pastilah orang yang tepat. Yaitu orang yang tidak mampu secara ekonomi tetapi mampu secara akademik.

Bayangkan saja. Untuk mengurus SKTM saja harus melewati seleksi dua jenjang perangkat desa, yakni RT dan Kelurahan. Di Kelurahan nanti akan diteliti lagi kartu keluarga dan KTP kepala keluarga, apa pekerjaan kepala keluarga, dll. 

Ada lagi surat keterangan penghasilan, foto rumah dari 2 sudut sorot, foto dapur keluarga. Ini dan itu, yang semuanya mendukung pengajuan. Di proses finalisasi di kampus, ada lagi interview kepada calon penerima.

Tetapi ternyata kesan itu hanya pepesan kosong. Bungkusnya bagus dan rapi. Isinya kosong. Pelaksanaan seleksi yang sebenarnya, wallahu a`llam.

Anak-anak yang orangtuanya benar-benar tidak mampu secara ekonomi banyak yang kecewa dan berurai air mata menerima hasil keketatan itu. Seperti Laura, misalnya. 

Sementara anak-anak orang mampu, yang miskinnya hanya di atas selembar kertas SKTM saja, senyam-senyum mendapat berita di akun KIP Kuliahnya. KIP Kuliahnya lolos. UKT-nya nol. Hebatnya, anak-anak yang seperti ini menggunakan hp yang harganya delapan jutaan ke atas. 

Di mana silapnya?

Tidak ada yang silap. Kata pemerintah semuanya terang benderang. Semuanya sesuai dengan regulasi. Payung hukumnya ada. Instansi yang mengurusnya jelas, yakni instansi pemerintah bekerjasama dengan pihak kampus. Opo meneh sing kleru? 

Kalau begitu, patut diduga, yang buruk itu adalah sistemnya. Dan sistem yang buruk itu dimanfaatkan oleh masyarakat kita yang berbudaya tidak malu digolongkan sebagai fakir miskin meskipun berkecukupan. Merasa rugi jika tidak ikut menikmati dana yang disediakan oleh negara. Padahal dana itu disediakan pemerintah untuk orang tidak mampu. Budaya seperti ini memang sudah turun temurun. Sudah dijadikan sebagai kearifan kontemporer. Kearifan masa kini.

Agaknya, salah satu kata-kata bijak yang pernah dikatakan oleh pakar dan akademisi bidang hukum tata negara kita, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, bahwa sistem yang kuat (baik) akan memaksa orang jahat menjadi baik, sebaliknya sistem yang lemah (buruk) akan memaksa orang baik menjadi jahat, adalah sahih sesahih sahihnya. Dan dalam kasus ini bisa disetir menjadi: sistem yang buruk akan menggoda orang yang berbudaya buruk memanfaatkan keburukan sistem itu untuk memperkaya dirinya. 

Kelemahan (keburukan) sistem seleksi pemberian beasiswa KIP Kuliah dan BIDIKMISI adalah tidak adanya standar baku untuk menetapkan satu keluarga sebagai keluarga tidak mampu. Standarnya, rasa. Negara harus memperbaiki ini. 

Ada kesan, kalau satu keluarga tinggal (bisa memiliki) satu unit hunian KPR atau rumah BTN misalnya, itu tidak termasuk keluarga tidak mampu. Padahal, rumah hunian itu mereka kredit 20 tahun lalu.

Seperti keluarga Laura misalnya. Mereka memang tinggal di rumah KPR yang dikredit 20 tahun lalu, sewaktu ayah Laura masih bekerja.

Kalau soal makan, mereka mampu. Yang tidak mampu itu untuk mengkuliahkan anak. Itulah sebabnya Laura mengajukan beasiswa KIP Kuliah, bukan BLT, RASKIN, atau sejenisnya yang digawei oleh KEMENSOS.

Keterlibatan pihak kampus pun, semisal dalam hal verifikasi/validasi data dan interview kepada calon penerima KIP Kuliah perlu ditinjau ulang. Celah akan diperoleh hasil beraroma like dislike sangat besar.

Ada cerita, seorang mahasiswi yang tadinya tidak mengajukan KIP Kuliah dan sudah membayar UKT untuk semester I, ditawari oleh mahasiswa yang mengurusi KIP Kuliah agar mengajukan KIP Kuliah karena ada penambahan kuota. Si mahasiswi mau. 

Hasilnya, KIP Kuliah si mahasiswi lolos. Sementara yang dari awal-awal mengajukan KIP Kuliah tidak lolos. Lucu tenan, kan? 

Akhir kisah,  Laura harus pulang. Mimpinya ingin menjadi dokter gigi harus dikubur. Ayahnya miskin, tetapi tidak diakui oleh pihak kampus. 

Belajar dari kisah Laura, bagi yang niat tahun ini, silakan saja mengajukan beasiswa KIP Kuliah atau BIDIKMISI. Tetapi jangan terlalu berharap.[]

*Ranto Napitupulu adalah seorang penulis yang tinggal di Riau. Dia penerima Anugerah Sastera Tahun 2022 dari Yayasan Rancage untuk Novel Bahasa Batak "BORU SASADA"

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya