Jakarta - Pejabat Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Romadhon Jasn mengkritisi implementasi kebijakan Kampus Merdeka oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Menurutnya terobosan Nadiem Makarim itu masih simpang siur dalam pelaksanaannya, terlebih di masa pandemi saat ini.
Romadhon menilai, Nadiem Makarim yang dalam cita-citanya menginginkan sistem belajar di dalam negeri menjadi lebih merdeka, fleksibel, dan mendukung keberagaman dalam belajar, namun realitasnya berbeda saat ia lihat di lapangan.
Contohnya, kata dia, mahasiswa yang melaksanakan kuliah virtual hanya mendapat tugas-tugas yang menyita waktu.
"Antara dosen dan mahasiswa mengalami ketidaksinkronan dalam pelaksanaan pembelajaran. Lalu, bagaimana implementasi Kampus Merdeka bisa berhasil jika yang terjadi di lapangan mahasiswa hanya diberikan tugas-tugas yang menghabiskan waktu sebagai ganti dari kuliah tatap muka," kata Romadhon dalam keterangan tertulisnya, diterima Opsi, Kamis, 6 Januari 2022.
Sehingga, lanjut Romadhon, Nadiem Makarim perlu mengkaji ulang kebijakan Kampus Merdeka yang dipadukan pada masa pandemi ini, terlebih pada kebebasan mahasiswa yang diberikan hak untuk mengambil studi lintas prodi bahkan fakultas.
Romadhon berpesan, jangan sampai harapan yang bertujuan visioner ini tidak terejawantahkan pada pelaksanaan praktisnya.
"Pertanyaannya, bagaimana mahasiswa mampu mengambil studi pada lintas prodi jika dalam menekuni satu mata kuliah saja sudah melelahkan. Sedangkan di dalam visi, misi, dan capaian pembelajaran pada masing-masing prodi sudah ditentukan bahwa mahasiswa mampu menguasai bidang ilmu tertentu dan menjadi profesional pada bidang keilmuan masing-masing," ujar dia.
Romadhon menyebut, harus ada diskusi yang komprehensif terkait kebijakan Kampus Merdeka. Sebab, jika hal ini terlalu dilaksanakan tanpa ada pengkajian yang utuh, maka tidak ada bedanya dengan proses uji coba terhadap generasi bangsa masa depan.
"Pak menteri harus mendiskusikan ulang bersama stakeholder di lingkungan kementerian untuk merumuskan apakah kampus merdeka ini sudah layak diterapkan pada kampus di Indonesia atau belum," kata dia.
Diketahui, Kampus Merdeka memiliki beberapa kebijakan. Pertama, otonomi bagi perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS) untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru.
Kedua, adalah program reakreditasi yang bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi serta prodi yang sudah siap naik peringkat. Akreditasi yang sudah ditetapkan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) tetap berlaku selama lima tahun, namun akan diperbarui secara otomatis.
Evaluasi akreditasi akan dilakukan BAN-PT jika ditemukan penurunan kualitas yang meliputi pengaduan masyarakat dengan disertai bukti yang konkret dan dapat dipertanggungjawabkan serta penurunan tajam jumlah mahasiswa baru yang mendaftar dan lulus dari prodi ataupun perguruan tinggi.
Ketiga, kebebasan bagi PTN badan layanan umum (BLU) dan satuan kerja (satker) untuk menjadi PTN badan hukum (PTN BH). Kemendikbud akan mempermudah persyaratan PTN BLU dan satker untuk menjadi PTN BH tanpa terikat status akreditasi.
Kebijakan keempat adalah pemberian hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi dan melakukan perubahan definisi satuan kredit semester (SKS). Perguruan tinggi wajib memberikan hak bagi mahasiswa secara sukarela.
Jadi, mahasiswa boleh mengambil ataupun tidak SKS di luar kampusnya sebanyak 2 semester atau setara dengan 40 SKS. Ditambah, mahasiswa dapat mengambil SKS di prodi lain di dalam kampusnya sebanyak satu semester dari total semester yang harus ditempuh. []