Jakarta - Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia mengingatkan semua pihak untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam penerapan keadilan restoratif (restorative justice) untuk penyelesaian suatu perkara.
Demikian disampaikan Hakim Agung Kamar Pidana MA Suharto dalam diskusi bertajuk Kontekstualisasi Implementasi Keadilan Restoratif di Indonesia, Jakarta, Rabu, 6 Juli 2022.
"Harus hati-hati karena asasnya pidana itu ada keterlibatan negara," kata Suharto.
Dia mengkhawatirkan dalam penerapan keadilan restoratif, negara terlalu bersifat perdata yang hakikatnya damai menyelesaikan sengketa.
Padahal, dalam hukum pidana, damai tidak menyelesaikan sengketa karena peran negara ialah menjaga ketertiban umum.
Oleh karena itu, lanjutnya, pembuat undang-undang dalam hal ini KUHP membedakan delik umum dan delik aduan. Dalam delik aduan, pencabutan tuntutan masih bisa dilakukan selama 90 hari.
Sementara, apabila perkara tersebut merupakan delik umum, maka tidak ada upaya pencabutan perkara.
Hanya saja, bila terjadi perdamaian antara korban dan terdakwa serta harus diselesaikan melalui pengadilan, hakim bisa mempertimbangkan menjadi sesuatu yang meringankan.
Secara umum MA melihat penerapan keadilan restoratif adalah sesuatu yang menarik.
Sebab, pengadilan adalah tempat terakhir pemutus suatu perkara. Jika sebuah kasus bisa diselesaikan di tahap penuntutan atau penyidikan, maka masalah tersebut tidak akan sampai di pengadilan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M. Syarif menilai pemerintah dan pihak-pihak terkait perlu membuat standardisasi yang sama terkait implementasi keadilan restoratif.
"Keadilan restoratif ini jadi prioritas pemerintah namun kita belum memiliki standar yang sama dalam hal implementasi," kata Laode.
Dengan dijadikannya keadilan restoratif sebagai prioritas pemerintah, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung juga melakukan hal yang sama dalam penegakan hukum di Tanah Air.
Dia mengatakan apabila tidak ada kesamaan standardisasi keadilan restoratif, maka akan menimbulkan kesenjangan. Dampaknya, implementasi di kepolisian, Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung akan berimbas pada lembaga pemasyarakatan (lapas). (ANTARA)