Jakarta — Kejaksaan Agung kembali membuka daftar panjang aktor di balik dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina periode 2018-2023.
Sembilan nama baru resmi diumumkan sebagai tersangka, melengkapi deretan figur yang sebelumnya sudah lebih dulu diseret.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar menjelaskan peran masing-masing tersangka, mulai dari rekayasa kontrak hingga mark up harga sewa kapal.
"Yang pertama, tersangka AN (Alfian Nasution) memiliki beberapa peran, yaitu melakukan proses penyewaan OTM secara melawan hukum dengan menghilangkan hak kepemilikan Pertamina dan harga yang tinggi di dalam kontrak pengadaan," kata Qohar dalam konferensi pers di Kejagung, Kamis, 10 Juli 2025.
Alfian juga disebut bekerja sama dengan Hanung Budya dalam penunjukan langsung kerja sama sewa Terminal BBM Merak tanpa prosedur lelang. Selain itu, Alfian berperan dalam penjualan solar di bawah harga dasar ke BUMN dan swasta, serta menyusun formula kompensasi tinggi untuk Pertalite.
"Kemudian melakukan proses penunjukan langsung kerja sama Terminal BBM Merak secara melawan hukum yang seharusnya dilakukan dengan cara pelelangan bersama Alfian," ucap Qohar soal Hanung Budya.
Qohar menambahkan, Hanung juga terlibat dalam penjualan PT Orbit Terminal Merak secara melawan hukum dengan menghapus hak kepemilikan Pertamina.
Nama lain, Toto Nugroho, disebut meloloskan pemasok impor minyak mentah meski tak memenuhi syarat lelang. Ia juga menyetujui penetapan pemenang meski prosesnya tidak sesuai prinsip value based procurement.
Sementara itu, Dwi Sudarsono bersama Yoki Firnandi dituding menjual Minyak Mentah Bagian Negara ke luar negeri lalu mengimpor kembali jenis minyak sama dengan harga lebih mahal.
"Di waktu yang sama DS bersama dengan tersangka SDS dan tersangka YF melakukan impor minyak mentah dengan jenis yang sama dari luar negeri dengan harga yang lebih mahal," terang Qohar.
Kasus mark up juga muncul dalam peran Arif Sukmara, Sani Dinar Saifuddin, dan Dimas Werhaspati. Ketiganya sepakat menaikkan tarif sewa kapal 13 persen dari harga wajar, memanipulasi pengadaan sehingga total harga membengkak menjadi USD5 juta.
Mereka juga mengatur pemenang tender kapal Suezmax dengan mencantumkan syarat teknis khusus. Indra Putra bersama Agus Purwono ikut mengangkut minyak Escravos dengan skema coloading, lalu memuluskan mark up harga hingga ke keuntungan pribadi.
Bagian lain diungkap Qohar terkait peran Hasto Wibowo, Martin Haendra Nata, dan Edward Corne. Mereka diduga menetapkan penunjukan langsung kepada Trafigura Asia Trading Pte.Ltd dalam pengadaan gasoline Semester I 2021, padahal seharusnya melalui lelang terbuka.
"Tetapi dalam kenyataannya Trafigura Asia Trading tidak terdaftar sebagai mitra atau DMUT Pertamina yang seharusnya tidak dapat mengikuti pengadaan/ lelang. Kemudian HW menyetujui dan menandatangani kontrak penjualan solar kepada Pihak Swasta yang diketahui bahwa harga dalam kontrak di bawah harga dasar," ujar Qohar.
Riza Chalid juga kembali terseret. Qohar menyebut Riza terlibat bersama Hanung, Alfian, dan Gading Ramadhan Joedo dalam skema Terminal BBM Merak.
"Dengan melakukan intervensi kebijakan Tata Kelola PT Pertamina berupa memasukkan rencana kerja sama penyewaan Terminal BBM Merak yang pada saat itu PT Pertamina belum memerlukan tambahan penyimpanan Stok BBM," kata Qohar.
"Kemudian menghilangkan skema kepemilikan aset Terminal BBM Merak dalam kontrak kerja sama serta menetapkan harga kontrak yang tinggi," imbuhnya.
Keseluruhan tersangka dijerat pasal korupsi berlapis, yaitu Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 KUHP.
Sebelum penetapan ini, Kejagung sudah lebih dulu menetapkan 18 tersangka. Nama-nama itu termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi, hingga saudagar minyak Riza Chalid dan anaknya, Muhammad Kerry Andrianto Riza.
Kerugian negara akibat korupsi tata kelola minyak ini ditaksir mencapai Rp 285 triliun, mencakup kerugian keuangan dan kerugian perekonomian negara.[]