News Selasa, 29 Maret 2022 | 17:03

Mahkamah Konstitusi: Putusan DKPP Bisa Dijadikan Objek Peradilan TUN

Lihat Foto Mahkamah Konstitusi: Putusan DKPP Bisa Dijadikan Objek Peradilan TUN Gedung Mahkamah Konstitusi. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Kabar baik bagi para Komisioner Bawaslu dan KPU. Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bukanlah lembaga peradilan.

DKPP sama dengan KPU dan Bawaslu, merupakan penyelenggara Pemilu yang memiliki kedudukan setara. Maka putusan DKPP dapat menjadi objek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

Demikian pertimbangan hukum putusan nomor 32/PUU-XIX/2021 yang diajukan oleh Arief Budiman dan Evi Novida Ginting Manik. 

Putusan tersebut dibacakan dalam sidang yang digelar pada Selasa, 29 Maret 2022 di Ruang Sidang Pleno MK.

Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian dalil Arief dan Evi terkait dengan ketentuan Pasal 458 ayat (13) UU No. 7/2017 tentang Pemilu bertentangan UUD 1945. 

“Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ‘Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN’,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan.

Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Suhartoyo, MK menyatakan norma mengenai putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat telah dipertimbangkan MK dalam Putusan MK nomor 31/PUU-XI/2013. 

Sehingga menurut MK pokok permohonan Arief dan Evi memiliki keterkaitan dengan Putusan MK nomor 31/PUU-XI/2013. 

Sementara itu, lanjutnya, dalil Arief dan Evi selebihnya sepanjang masih relevan dengan substansi pertimbangan hukum yang akan diuraikan lebih lanjut oleh MK akan turut dipertimbangkan lebih lanjut pula.

Menurut Suhartoyo, dalam amar Putusan MK nomor 31/PUU-XI/2013 menyatakan frasa “bersifat final dan mengikat” harus dimaknai bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu, yang seharusnya dibaca sebagai satu kesatuan dengan pertimbangan hukum yang menyatakan, “adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN”.

“Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalam putusan perkara a quo, di samping MK  kembali menegaskan pendiriannya bahwa DKPP bukanlah lembaga peradilan, dan DKPP sebagaimana KPU dan Bawaslu merupakan penyelenggara Pemilu yang memiliki kedudukan setara. MK juga menegaskan ketiga lembaga penyelenggara Pemilu tersebut mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak ada satu di antaranya yang mempunyai kedudukan yang lebih superior,” ujarnya dilansir dari situs MK.

Baca juga: Nasihat Hakim MK kepada Anis Matta Cs soal Uji Keserentakan Pemilu 2024

Suhartoyo menjelaskan melalui putusan a quo, MK menegaskan dan mengingatkan kepada semua pemangku kepentingan bahwa frasa ’’bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu dimaksudkan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN. 

Dia menyebut Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu harus melaksanakan putusan DKPP tersebut dan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP tersebut dapat dijadikan objek gugatan oleh pihak yang tidak menerima putusan DKPP dimaksud, dengan mengajukan gugatan pada peradilan TUN.

Terhadap putusan peradilan TUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sambung Suhartoyo, harus dipatuhi dan menjadi putusan badan peradilan yang mempunyai kekuatan eksekutorial. 

Baca juga: Partai Gelora Menilai Keserentakan Pemilu 2024 Melanggar UUD 45

Dengan kata lain, yang dimaksud final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu hanya menindaklanjuti putusan DKPP yang produknya dapat menjadi objek gugatan pada peradilan TUN.

Sehingga dengan demikian dalam konteks ini Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu sebagai atasan langsung yang berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelenggara Pemilu sesuai tingkatannya, tidak mempunyai kewenangan untuk berpendapat berbeda yang bertentangan dengan putusan DKPP ataupun putusan TUN yang mengoreksi ataupun menguatkan putusan DKPP.

“Selain itu, permohonan para pemohon sepanjang berkaitan dengan dapat atau tidaknya putusan DKPP menjadi objek PTUN sepanjang sejalan dengan pertimbangan hukum putusan a quo adalah beralasan menurut hukum,” jelas Suhartoyo.

Suhartoyo menguraikan bagi MK melalui putusan a quo menegaskan kembali dalam amar putusan perkara a quo, bahwa hakikat pertimbangan hukum putusan perkara nomor 31/PUU-XI/2013 berkenaan dengan tafsir atas Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu yang selanjutnya harus menjadi tafsir tunggal yang tidak bisa dimaknai lain selain sebagaimana yang ditegaskan dalam amar putusan a quo. 

Sehingga, dalil para pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan, terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak relevan dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

Sebelumnya, Arief Budiman dan Evi Novida Ginting Manik yang merupakan Anggota KPU RI mengajukan uji materiil aturan mengenai putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat dalam UU Pemilu. 

Keduanya mendalilkan Pasal 458 ayat (13) dan pengujian terhadap sebagian frasa dan kata dalam Pasal 14 huruf m, Pasal 17 huruf m, Pasal 20 huruf m, Pasal 38 ayat (4), Pasal 93 huruf g angka 1, Pasal 97 huruf e angka 1, Pasal 101 huruf e angka 1, Pasal 105 huruf e angka 1, Pasal 137 ayat (1), Pasal 159 ayat (3) huruf d, Pasal 458 ayat (5), ayat (10), ayat (11), ayat (14), serta Pasal 459 ayat (5) UU Pemilu.

Untuk itulah, keduanya meminta agar MK menyatakan ketentuan Pasal 14 huruf m, Pasal 17 huruf m, Pasal 20 huruf m, Pasal 38 ayat (4), Pasal 93 huruf g angka 1, Pasal 97 huruf e angka 1, Pasal 101 huruf e angka 1, Pasal 105 huruf e angka 1, Pasal 137 ayat (1), Pasal 159 ayat (3) huruf d, Pasal 458 ayat (5), ayat (10), ayat (11) & ayat (14), serta Pasal 459 ayat (5) UU Pemilu sepanjang frasa “putusan” sebagai conditionally constitutional (konstitusional bersyarat) sepanjang dimaknai sebagai “keputusan” yang dapat diuji langsung ke peradilan Tata Usaha Negara. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya