Jakarta - Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti mendesak pemerintah dan DPR RI segera merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang guna mencegah penyelewengan.
Demikian disampaikan Bivitri webinar bertajuk "Polemik Pengelolaan Dana Filantropi", Sabtu, 9 Juli 2022.
"Beberapa kawan dan saya sendiri telah mendorong adanya perubahan Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang ini," kata Bivitri seperti meneruskan catatan ANTARA, Sabtu, 9 Juli 2022.
Salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) ini mengungkapkan, dirinya bersama sejumlah pihak sudah pernah mendorong revisi undang-undang tersebut.
Apalagi, lanjutnya, Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang sudah cukup lama sehingga perlu penyesuaian dengan kondisi saat ini.
Akan tetapi, katanya, dorongan revisi undang-undang tersebut selalu terkendala di DPR dengan alasan politik yang tidak jelas.
"Mudah-mudahan ini menjadi momentum bagus untuk merevisi undang-undang tersebut," ujarnya.
Tidak hanya revisi undang-undang, dia menilai aturan turunan dari undang-undang itu, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1980 harus diperbarui.
Dorongan tersebut sejalan dengan kasus yang terjadi pada Aksi Cepat Tanggap (ACT), salah satu filantropi yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan.
Lantas, dia membandingkan keberadaan Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang bisa dikatakan cukup jauh tertinggal.
"Makanya cara berpikir pengelolaan zakat lebih modern, rapi, dan lebih akuntabel," tuturnya.
Menurutnya, pemberian izin dan pendaftaran kepada suatu pihak untuk mengelola dana kepentingan masyarakat banyak, seperti filantropi tidak cukup hanya sebatas pemberian izin.
Dia menegaskan, jauh dari itu pengawasan dan akuntabilitas harus tetap diawasi agar tidak terjadi penyelewengan dana.
Sementara, dalam Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang diterbitkan pada tahun 1961 tersebut belum mengangkat aspek akuntabilitas.
Karena itu, dia berpandangan pencabutan izin sebuah filantropi sebagaimana yang dialami ACT karena diduga melakukan penyelewengan dana tidak akan menyelesaikan persoalan.
"Jadi teman-teman yang berkegiatan di sektor itu merasa sedih. Gara-gara nira setitik rusak susu sebelanga," kata dia.
Lebih lanjut, Bivitri menyarankan pemerintah agar tidak hanya sekadar mencabut izin sebuah filantropi. Namun, penyelesaian masalah harus dilakukan secara struktural dan segera melakukan revisi undang-undang.[]