Jakarta - Dua pasangan pria yang sedang berpangkuan di sebuah kafe di Pancoran, Jakarta Selatan, dilaporkan ke polisi pada Sabtu, 4 Juni 2022.
Pelapornya adalah pemilik kafe bernama Andri Laksono. Dia menilai tindakan kedua pasangan yang merupakan pengunjung kafenya tersebut melakukan pelanggaran kesusilaan di depan umum.
Laporan kepolisian tercatat dengan nomor: LP/B/255/VI/2022/SPKT/Sek.Panc./restro Jaksel/PMJ. Mereka dilaporkan dengan menggunakan Pasal 281 KUHP.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Genoveva Alicia mengingatkan kepolisian untuk berhati-hati merespons laporan tersebut.
Dia juga meminta polisi tidak serta merta memproses laporan ini tanpa dasar hukum pidana, yang dapat menimbulkan iklim ketakutan dan stigma.
Pasal 281 KUHP berkaitan dengan kesusilaan di muka umum. ICJR mempertanyakan tindakan apa yang dilakukan oleh pasangan laki-laki ini yang termasuk ke dalam definisi melanggar kesusilaan di dalam KUHP.
"Sebab berpangkuan tidak memenuhi unsur kesusilaan di dalam pasal yang dimaksudkan tersebut," terang Alicia dalam keterangan tertulis, Jumat, 10 Juni 2022.
Dia menjelaskan, kesusilaan menurut R. Soesilo di dalam penjelasan Pasal 281 dimaknai sebagai perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin.
Misalnya bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan alat wanita atau pria, mencium dsb.
"Perbuatan tersebut harus termasuk berkaitan dengan nafsu birahi dan alat kelamin," tukas dia.
Nah, berdasarkan pemberitaan, perbuatan yang ada di dalam video tidak termasuk ke dalam kategori kesusilaan sebagaimana penjelasan Pasal 281 KUHP.
Baca juga:
DPR Minta Pidana Perbuatan Cabul Oleh LGBT Diperjelas di Memori Penjelasan KUHP
Sebagai catatan kata Alicia, apa yang dilakukan oleh dua pasang pria tersebut sering dilakukan oleh masyarakat sekalipun di ruang publik.
Jika berpangkuan kemudian diklasifikasikan sebagai pelanggaran kesusilaan, maka yang akan terjadi adalah overkriminalisasi.
Kemudian semakin besarnya ruang kewenangan aparat penegak hukum untuk menggunakan instrumen pidana pada perbuatan-perbuatan yang seharusnya tidak perlu diproses pidana.
Termasuk juga berpotensi menjerat pasangan legal karena menunjukkan perbuatan-perbuatan yang tanpa batas jelas, dianggap sebagai perbuatan kesusilaan.
ICJR kata Alicia, khawatir bahwa pelaporan kasus ini didasarkan pada kebencian dan stigma pada orientasi seksual tertentu.
Menyebabkan hukum diterapkan secara diskriminatif. Pasal-pasal yang tidak ditujukan untuk suatu perbuatan tertentu dipaksakan hanya untuk memenuhi rasa kebencian tersebut.
"Penerapan pidana di dalam kasus ini merupakan suatu kesewenang-wenangan, untuk semata-mata mendiskriminasi kelompok minoritas seksual tertentu," tegasnya.
Jika memang peristiwa ini dirasa tidak sesuai dengan norma, maka pidana tidak seharusnya digunakan sebagai jalan penyelesaian.
Pidana harus merupakan upaya terakhir, banyak norma lain yang berlaku di masyarakat yang bisa terapkan.
"Kami mengingatkan sekali lagi aparat penegak hukum untuk tidak menggunakan momentum-momentum seperti ini untuk melanggengkan stigma dan diskriminasi kepada kelompok minoritas seksual tertentu. Proses pidana pada perbuatan yang dilaporkan ini juga akan berpotensi membuka ruang begitu besar kepada aparat penegak hukum untuk menggunakan kewenangannya dalam memproses pidana dengan sewenang-wenang atau berlebihan," katanya. []