Opini
Oleh: Seno Rocky Pusop
Pemungutan Suara Ulang (PSU) dalam Pemilihan Gubernur Papua pada tanggal 6 Agustus 2025 seharusnya menjadi upaya perbaikan prosedural demi menjamin demokrasi yang adil dan bermartabat.
Namun di lapangan, PSU justru membuka kembali luka lama dan ketegangan baru: agama menjadi alat mobilisasi massa, sementara negara hadir dengan segala kuasanya untuk mengontrol hasil.
Persoalan ini bukan semata soal siapa yang menang atau kalah, tapi menyentuh lapisan yang lebih dalam: politik identitas, pengaruh gereja, tekanan birokrasi, dan tarik-menarik legitimasi.
Apakah ini masih demokrasi, atau sedang menuju teokrasi samar yang dibungkus simbol negara?
Agama sebagai Kekuatan Politik Kultural
Dalam konteks Papua, agama bukan sekadar urusan spiritual. Ia adalah identitas, pelindung moral, sekaligus penghubung sosial.
Gereja, terutama denominasi Protestan arus utama seperti GKI, yang telah sejak lama memainkan peran sentral dalam membentuk struktur masyarakat.
Di banyak wilayah, tokoh gereja bahkan lebih dihormati daripada kepala kampung atau pejabat distrik.
Wajar jika kemudian dalam dinamika politik lokal, gereja menjadi magnet kekuasaan yang sangat potensial.
Fenomena ini sangat terasa dalam PSU. Banyak pemuka agama turun langsung mendukung calon tertentu, menyampaikan pesan-pesan politik terselubung dalam khotbah, bahkan dalam beberapa kasus secara terang-terangan mengaitkan pilihan politik dengan ajaran iman. Slogan-slogan seperti “pemimpin yang seiman” atau “pemimpin yang diberkati Tuhan” menggema dalam ruang-ruang ibadah. Pemilu pun tak lagi netral, karena telah dibingkai secara spiritual.
Jika agama terlibat dalam politik atas dasar moralitas, itu satu hal. Tetapi ketika gereja mulai mengambil posisi partisan dan menjadi corong kampanye, di situlah demokrasi mulai goyah.
Agama yang seharusnya menjadi pelindung nurani publik justru berubah menjadi alat justifikasi kekuasaan.
Negara dan Ilusi Netralitas
Sementara itu, negara dalam hal ini pemerintah pusat dan lembaga penyelenggara pemilu berusaha tampil sebagai wasit netral.
Namun publik Papua tahu, netralitas negara tidak pernah benar-benar meyakinkan.
Di mata banyak warga, negara adalah representasi Jakarta, representasi struktur kekuasaan yang kerap abai pada aspirasi lokal, dan kerap hadir dengan logika kuasa daripada logika keadilan.
Dalam PSU, ada banyak laporan tentang keberpihakan aparat, tekanan terhadap ASN, distribusi logistik yang tidak merata, hingga dugaan intimidasi di lapangan.
Tidak sedikit warga merasa “negara datang hanya untuk memenangkan siapa yang dikehendaki pusat”, bukan mendengar suara rakyat Papua.
Kecurigaan ini diperkuat oleh sejarah panjang Papua dalam relasi yang problematik dengan negara.
Luka-luka lama seperti marginalisasi, pelanggaran HAM, hingga ketimpangan pembangunan menjadi semacam trauma kolektif yang belum pulih.
Dalam kondisi semacam ini, setiap tindakan negara dipandang dengan skeptis, dan seringkali ditolak oleh nurani lokal.
Politik Identitas: Antara Sakral dan Struktural
Ketika agama dan negara sama-sama tidak netral, pemilu menjadi pertarungan dua kutub pengaruh.
Masyarakat pun dipaksa memilih, bukan hanya calon, tetapi identitas. Pilihan politik menjadi identik dengan pilihan iman.
Memilih kandidat A berarti berdiri dalam “rencana Tuhan”, memilih kandidat B berarti “melawan arus keimanan”.
Sebaliknya, jika mengikuti arahan negara, maka dianggap menjual harga diri sebagai orang Papua.
Polarisasi ini berbahaya. Ia menciptakan fragmentasi sosial, memperdalam jurang antara “yang seiman” dan “yang berpihak pada negara”.
Ketegangan ini bisa terus membesar, melahirkan konflik horizontal yang sulit dipadamkan, apalagi jika elit politik dan tokoh agama tidak menahan diri.
Perlu dicatat, ketika agama menjadi alat legitimasi politik, maka yang rusak bukan hanya demokrasi, tetapi juga nilai-nilai sakral itu sendiri.
Gereja bisa kehilangan wibawa profetiknya, dan negara kehilangan kepercayaan publik. Pada akhirnya, rakyat yang menjadi korban, dipaksa tunduk pada narasi besar yang sebenarnya jauh dari kebutuhan mereka sehari-hari: pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan keamanan.
Menolak Demokrasi yang Terjajah oleh Simbol
Papua hari ini tidak membutuhkan pemilu yang sekadar legal. Papua butuh demokrasi yang etis dan kontekstual yang memahami kompleksitas budaya, trauma sejarah, dan kekuatan adat.
Demokrasi yang menghormati gereja, tapi tidak membiarkan gereja jadi alat kekuasaan. Demokrasi yang mengakui peran negara, tapi tidak membiarkan negara jadi penguasa mutlak.
PSU Pilgub Papua menjadi contoh bagaimana demokrasi bisa kehilangan maknanya ketika simbol-simbol sakral dan struktural saling mengklaim kebenaran. Gereja mengklaim suara Tuhan, negara mengklaim suara hukum, dan rakyat terseret dalam pertarungan narasi yang bukan mereka ciptakan.
Papua membutuhkan pemilu yang membebaskan, bukan membelenggu; yang mencerdaskan, bukan membingungkan.
Dan untuk itu, gereja harus kembali ke fungsinya sebagai penjaga moral publik, bukan aktor politik partisan.
Negara pun harus hadir sebagai fasilitator yang adil, bukan manipulator yang licik.
Jalan Tengah untuk Papua
Menyatukan Papua berarti membangun jembatan antara keyakinan dan kekuasaan. Gereja dan negara bisa berdampingan, tapi tidak boleh saling mendominasi.
Demokrasi Papua tidak boleh jatuh pada ekstrem teokrasi atau diktator teknokratis. Yang dibutuhkan adalah keberanian moral dan etika institusional.
Pemilu bukan ruang kontestasi iman, tapi ajang adu gagasan. Biarkan rakyat Papua memilih berdasarkan akal sehat dan nurani, bukan tekanan dari mimbar atau ancaman dari aparat.
Karena dalam demokrasi yang sehat, suara rakyat adalah suara Tuhan, bukan suara Tuhan yang diklaim oleh segelintir orang untuk menguasai rakyat.
Jika tulisan ini terasa tajam, itu karena realitas di Papua memang tidak sedang baik-baik saja.
PSU bukan sekadar pengulangan teknis, tapi refleksi mendalam tentang bagaimana kekuasaan bekerja di antara gereja yang suci dan negara yang kuat.
Semoga Papua tidak jatuh ke dalam perang simbol, tapi bangkit sebagai tanah damai yang menjunjung martabat manusia dan keadilan yang setara. []