Daerah Senin, 17 November 2025 | 18:11

RAPBD 2026 untuk Sektor Pendidikan dan Kesehatan, Gubernur Bobby Nasution Abaikan UU

Lihat Foto RAPBD 2026 untuk Sektor Pendidikan dan Kesehatan, Gubernur Bobby Nasution Abaikan UU Gubernur Sumut Bobby Nasution. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Medan - Dalam draft Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2026 Sumatra Utara, terlihat pos belanja untuk sektor pendidikan dialokasikan hanya sebesar Rp 1.520.418.612.162,00 atau 13,03 persen.

Hal ini dianggap melanggar mandat 20 persen sesuai UU Nomor 20 Tahun 2003, yakni Sistem Pendidikan Nasional yang mewajibkan 20 persen dari APBD.

"UU Sistem Pendidikan Nasional mewajibkan 20 persen APBD dialokasikan untuk fungsi pendidikan. Dengan angka hanya 13,03 persen, maka ini melanggar ketentuan mandatory spending, pemda dapat dianggap tidak mematuhi amanat konstitusi. Prioritas sektor pendidikan tampak tidak dihormati," tegas Elfenda Ananda, Analis Anggaran FITRA Sumut dalam keterangan tertulisnya dilansir Senin, 17 November 2025.

Menurut dia, walaupun sebagian belanja pegawai guru mungkin dicatat di bawah fungsi “pelayanan umum”, secara metodologis ini seharusnya dikelompokkan sebagai fungsi pendidikan. 

Elfenda menilai hal ini tidak sesuai dengan prioritas pertama pembangunan Sumut tahun 2026, yaitu pemberian bantuan uang sekolah gratis kepada siswa SMA/SMK/SLB untuk mengurangi beban keluarga, pembangunan sekolah unggulan, rehabilitasi ruang sekolah dan sarana prasarana pendidikan.

Begitu juga untuk pembangunan ruang kelas baru dan pengadaan meubiler di SMA/SMK/SLB, peningkatan kualitas guru, peningkatan kualitas dan mutu kurikulum, serta digitalisasi pembelajaran, dan penyediaan fasilitas perpustakaan sekolah.

Tak cuma sektor pendidikan, di sektor kesehatan Pemprov Sumut di bawah pimpinan Gubernur Bobby Nasution juga mengalokasikan anggaran belanja yang cukup rendah, yakni Rp 336.247.981.953,00 atau 2,88 persen.

Menurut Elfenda ini jauh di bawah wajib 10 persen UU Kesehatan dan regulasi keuangan daerah menetapkan standar minimal 10 persen APBD (di luar gaji) untuk fungsi kesehatan. 

Dengan hanya 2,88 persen, maka pemda kata dia, melanggar mandatory spending kesehatan. 

Akibatnya adalah layanan dasar kesehatan dipastikan akan underfunded dan komitmen terhadap pelayanan publik sangat rendah. 

"Tidak sesuai dengan prioritas kedua pembangunan, penguatan universal health coverage (uhc), memastikan tidak ada masyarakat kurang mampu tidak dapat berobat karena biaya, pemberian beasiswa ikatan dinas bagi dokter spesialis dsb," kata dia.

Begitu juga anggaran belanja untuk sektor perlindungan sosial (perlinsos) sebesar Rp 43.790.935.725,71 atau 0,38 persen.

Hal ini menandakan pengabaian terhadap kelompok rentan. Anggaran perlinsos idealnya 3–5 persen APBD, terutama untuk penyandang disabilitas, kemiskinan ekstrem, perlindungan anak & lansia, bantuan sosial daerah. 

"Dengan hanya 0,38 persen, itu berarti daerah sangat tidak responsif terhadap kelompok rentan, Tidak ada intervensi memadai bagi kemiskinan dan keterpurukan sosial. Rentan dikritik secara moral dan politik," tandas Elfenda.

Kemudian anggaran untuk sektor fungsi lingkungan hidup sebesar Rp 21.412.379.135,09 atau 0,18 persen.

Elfenda menilai ini mengindikasikan krisis governance lingkungan. Padahal standarnya 1–3 persen saja sudah dianggap rendah. 

Tapi 0,18 persen itu ekstrem, dan mengindikasikan tidak ada perhatian pada persoalan tata ruang, air, polusi, tata ruang, dan perubahan iklim. Ketidaksiapan menghadapi banjir, longsor, dan risiko katastropik lain.

Alokasi belanja untuk fungsi perumahan dan fasilitas umum lebih parah, yakni Rp 22.709.297.800,00 atau 0,19 atau hampir nol.

Sektor ini idealnya 3–6 persen dari APBD,  termasuk jalan permukiman, air minum, sanitasi, drainase. 

Dengan hanya 0,19 persen, berarti tidak ada komitmen pembangunan infrastruktur dasar warga miskin, permukiman kumuh tidak akan berkurang bahkan kemungkinan bertambah. Akses air dan sanitasi akan stagnan.

Alokasi belanja untuk fungsi pariwisata Rp 26.585.609.900,00 atau 0,23 persen. Angka ini dinilai tidak sejalan dengan narasi pengembangan PAD.

Jika daerah sering mengklaim pariwisata sebagai sektor unggulan, angka ini sangat kecil, tidak proporsional, tidak akan mampu menghasilkan dampak ekonomi.

"Secara struktur, APBD ini tidak berorientasi pada pelayanan publik, melainkan sangat bias pada belanja pegawai, belanja rutin, administrasi pemerintahan," katanya.

Elfenda menegaskan kembali, RAPBD 2026 ini sangat tidak sehat, tidak efisien, tidak pro-masyarakat, dan melanggar dua mandatory spending utama (pendidikan & kesehatan). 

Komposisi belanja didominasi hampir 70 persen untuk pelayanan umum level yang tidak lazim dan menunjukkan pemborosan aparatur. 

Fungsi layanan publik dasar seperti kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, dan perlindungan sosial, justru menjadi korban pemangkasan ekstrem.

Diketahui, RAPBD 2026 yang diajukan Pemprov Sumut, pendapatan daerah ditargetkan sebesar Rp 11,67 triliun. 

Angka ini berkurang sebesar Rp 873,44 miliar (6,96%) dibanding tahun 2025 sebesar Rp 12,54 triliun.

Belanja daerah tahun 2026 ditargetkan sebesar Rp 11.67 triliun, atau turun sebesar Rp 834,43 miliar (-6,67%) dibanding tahun 2025 sebesar Rp 12,5 triliun. [] 

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya