Medan - Pendiri Suluh Muda Indonesia (SMI), Analis Anggaran FITRA Sumut Elfenda Ananda menilai Rancangan APBD Pemprov Sumut TA 2026 tidak berorientasi pelayanan publik.
"Secara struktur, tidak berorientasi pada pelayanan publik, melainkan sangat bias pada belanja pegawai, belanja rutin, administrasi pemerintahan," kata Elfenda dalam keterangan persnya di Medan, dilansir Senin, 17 November 2025.
APBD kata dia, seharusnya menjadi instrumen utama untuk mewujudkan kesejahteraan publik dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Namun, membaca data Rancangan APBD 2026, yang mencakup sisi pendapatan dan belanja, terlihat jelas bahwa fiskal daerah masih belum berpihak kepada rakyat.
Pendapatan daerah tahun anggaran 2026 sebesar Rp 11,67 triliun berkurang sebesar Rp 873,44 Miliar (6,96%) dibanding tahun 2025 sebesar Rp 12,54 triliun.
Padahal Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2026 sebesar Rp 6,97 triliun naik sebesar Rp 550,13 miliar dibanding tahun 2025 sebesar Rp 6,41 miliar .
Artinya total pendapatan justru turun signifikan hingga 6,96 persen. Angka ini memperlihatkan kerapuhan struktur fiskal daerah dan ketergantungan tinggi terhadap transfer pusat yang kini menurun tajam.
Dari sisi belanja kata Elfenda, belanja daerah tahun 2026 ditargetkan sebesar Rp 11.67 triliun turun sebesar Rp 834,43 miliar (-6,67%) dibanding tahun 2025 sebesar Rp 12,5 triliun.
Turunnya belanja derah ini berdampak negatif pada pelayanan publik kepada masyarakat secara umum.
Dia membeberkan data, untuk pelayanan umum sebesar Rp 8.114.160.534.706,43 atau sebesar 69,53%.
Porsi ini kata Elfenda, sangat tidak wajar dan mengindikasikan distorsi prioritas. Padahal standar nasional mengharuskan komposisi belanja fungsi pelayanan umum berada pada kisaran 30–40%, bukan 70%.
Ketika angkanya mencapai 69,53%, ini menunjukkan bahwa belanja birokrasi sangat gemuk, termasuk belanja pegawai, administrasi umum, perjalanan dinas, operasional rutin SKPD.
"Porsi untuk layanan publik langsung—pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial tertindih oleh biaya aparatur. Tidak sesuai dengan prinsip money follow program (Permendagri 77/2020).Ini adalah salah satu indikator ketidakefisienan struktural dalam APBD," terang Elfenda.
Kemudian, porsi untuk fungsi ekonomi 13,46% masih di bawah ideal. Fungsi ekonomi mencakup pembangunan infrastruktur ekonomi, pemberdayaan usaha, ketahanan pangan, pertanian, UMKM, perdagangan, dan pasar.
Untuk daerah, porsi ideal fungsi ekonomi berkisar 20–25%. Dengan hanya 13,46%, tabel ini menunjukkan:
Menurut Elfenda, rendahnya dukungan untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang, pembangunan produktif kalah dari belanja aparatur serta efek multiplier ekonomi menjadi lemah. []