News Rabu, 23 Februari 2022 | 14:02

Sepanjang 2021, AMAN Catat 13 Kasus Perampasan Wilayah Adat 

Lihat Foto Sepanjang 2021, AMAN Catat 13 Kasus Perampasan Wilayah Adat  Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menerima laporan 13 kasus perampasan wilayah adat. (Foto: AMAN)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Dalam catatan akhir tahun 2021, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menerima laporan 13 kasus perampasan wilayah adat.

Ini menandai catatan suram situasi Masyarakat Adat di Indonesia. Bahwa perampasan wilayah adat, kekerasan, kriminalisasi dan penyangkalan terhadap Masyarakat Adat masih terus berlangsung dan semakin meningkat. 

"AMAN dan PPMAN sepanjang 2021 menerima 13 kasus perampasan wilayah adat yang mencakup areal seluas 251.000 hektare dan berdampak pada pada 103.717 jiwa," demikian bagian catatan akhir tahun 2021 AMAN yang diterima Opsi.id, Rabu, 23 Februari 2022.

Disebutkan, bahkan satu orang warga Masyarakat Adat Toruakat di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, tertembak mati dalam bentrok dengan perusahaan tambang PT Bulawan Daya Lestari.

Baca juga: Kampung Adat di Jabar Bisa Jadi Inspirasi Generasi Muda

Pengakuan Hutan Adat sejauh ini pun baru seluas 56.903 hektare atau 75 SK Hutan Adat, ketika setidaknya 240 ribu hektare wilayah adat justru dirampas atas nama Perhutanan Sosial, baik HKM, Hutan Desa, HTR, dan Kemitraan.

"Hingga 2021, pemegang kekuasaan masih gagal menerjemahkan konsep pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat," kata Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi. 

Disebutkan, Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat hingga hari ini tidak juga disahkan sementara pejabat-pejabat publik semakin sering terbiasa `menggunakan baju adat` sebagai kamuflase `wujud penghormatan` terhadap Masyarakat Adat. 

Tantangan dari UU dan kebijakan yang tidak berpihak pada Masyarakat Adat semakin nyata di tengah-tengah Masyarakat Adat.

Selain itu, tahun 2021 juga diwarnai dengan masuknya virus Covid-19 ke berbagai wilayah adat setelah berhasil ditahan tahun sebelumnya dengan Gerakan Lockdown Wilayah Adat.

Situasi ini menambah beban besar bagi Masyarakat Adat yang pada saat sama, harus berhadapan dengan tekanan dari perampasan wilayah adat, kriminalisasi, dan kekerasan.

Apalagi, layanan vaksin dan pengobatan cenderung lambat dan tidak cukup tangguh merespons beragam situasi yang dihadapi Masyarakat Adat. 

"Meskipun demikian, Masyarakat Adat kembali menunjukkan ketangguhan dan solidaritas yang semakin kuat di tengah krisis. Selama pandemi Covid-19, terbentuk 118 Kelompok Usaha Komunitas sebagai bagian dari Gerakan Kedaulatan Pangan dan Ekonomi Masyarakat Adat," tandas Rukka. 

Baca juga: Masyarakat Adat Demo Tutup PT TPL di Toba

Di tingkat global, wacana tentang pasar karbon semakin menguat. UNFCCC COP 26 gagal memastikan FPIC dan Grievance Mechanism dalam Artikel 6 dari Paris Agreement, yang fundamental bagi Masyarakat Adat dan masa depan wilayah adat dalam mekanisme pasar dan nonpasar. 

Meskipun pada saat yang sama, koalisi berbagai negara dan donor internasional menyatakan ikrar untuk memastikan dukungan pendanaan bagi Masyarakat Adat, pasar karbon tetap menjadi ancaman nyata bagi wilayah adat di seluruh dunia. []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya