Pematangsiantar - Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pdt Victor Tinambunan menyayangkan aksi teror berupa kiriman paket burung mati ke kediaman Delima Silalahi di Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatra Utara pada Jumat, 30 Mei 2025 pagi.
Pdt Victor mengatakan, salah satu warisan paling berharga dari nenek moyang yang tetap harus dipelihara saat ini dan masa depan adalah kesantunan.
Itu juga ciri orang beradab. Perbedaan pendapat atau sikap terhadap sesuatu hal yang lumrah dan wajar. Yang harus dibangun adalah budaya argumen yang sehat dengan semangat saling menghargai.
"Cara-cara seperti itu (kiriman paket burung mati, red) harus kita hindari. Pelakunya kita doakan dan ampuni. Kiranya ke depan cara-cara seperti itu tidak terjadi lagi di bumi Indonesia yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang beradab," kata Ephorus dalam keterangan tertulis, Jumat siang.
Disebutnya, teror seperti itu tidak akan menyurutkan semangat perjuangan. Malah menambah semangat yang memperjuangkan kebenaran.
Ephorus pun menegaskan bahwa teror dimaksud tidak akan meredupkan suara menuntut PT TPL ditutup di Tano Batak. "Akan terus. Dengan elegan, tentu. Tanpa kekerasan verbal dan fisik," tukasnya.
Pdt Robinsar: Bentuk Kepanikan
Kesempatan berbeda, Pdt Dr JP Robinsar Siregar MTh, seorang Teolog Ekoteologi pemerhati Lingkungan dari Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) menyebut, tindakan teror yang disampaikan ke aktivis Delima Silalahi merupakan bukti bahwa pihak perusak Tano Batak semakin lemah menghadapi fakta-fakta lapangan atas desakan masyarakat dan kehadiran KSPPM-AMAN.
"Teror dengan mengirim burung mati merupakan tindakan pengecut yang tidak beradab, mencerminkan ketakutan para pelaku perusakan lingkungan terhadap kekuatan suara kenabian, kebenaran, solidaritas, dan suara masyarakat adat," katanya dalam keterangan tertulis.
Pdt Dr JP Robinsar Siregar MTh. (Foto: Ist)
Pdt Robinsar lebih jauh mengatakan, teror ini bertujuan untuk membungkam atau memecah konsolidasi gerakan rakyat, agar organisasi KSPPM dan AMAN bersama dengan lembaga-lembaga gereja menjadi kehilangan dukungan bahkan menjadi takut melanjutkan perjuangan dan advokasi.
Ini kata dia, adalah strategi yang disengaja dan terorganisir untuk memecah semangat perjuangan kolektif yang sedang dibangun oleh masyarakat adat dan para pejuang lingkungan.
"Tindakan ini diarahkan untuk membungkam suara perlawanan, melemahkan struktur gerakan rakyat, serta menciptakan rasa takut yang menjalar di antara para aktivis, pendamping, dan komunitas akar rumput," tukasnya.
Dia menyebut, dalam sejarah gerakan rakyat di Indonesia, dan khususnya di Tanah Batak, selama ini telah membuktikan bahwa intimidasi dan kekerasan tidak pernah berhasil membungkam suara kebenaran yang lahir dari hati yang tulus.
Justru dalam banyak kasus, tindakan represif seperti ini menjadi bahan bakar semangat baru bagi para aktivis dan masyarakat adat untuk bersatu lebih erat, memperkuat jaringan solidaritas, dan memperluas perjuangan ke tingkat yang lebih luas.
Oleh karena itu ujar dia, penting untuk membaca teror ini bukan hanya sebagai serangan personal, tetapi sebagai serangan terhadap seluruh gerakan masyarakat adat dan lingkungan hidup.
"Maka respons kita pun harus kolektif," tandasnya.
Ditegaskannya, kiriman burung mati merupakan simbol ancaman dari pihak yang menandakan ketakutannya sendiri. Dalam budaya banyak masyarakat, termasuk masyarakat Batak, burung merupakan simbol kebebasan, kehidupan, dan bahkan roh leluhur.
BACA JUGA: Aktivis Lingkungan Delima Silalahi Dapat Teror Berupa Burung Mati
Mengirim burung mati adalah simbol kematian atau “hukuman”. Simbol dalam bentuk teror psikologis untuk menakut-nakuti penerima agar berhenti berjuang.
Namun pada faktanya, psikologis si pembuat teror yang sudah sangat terganggu dengan rasa takut yang sangat berlebihan.
Pdt Robinsar katakan, jika ditelaah lebih dalam, simbol-simbol teror tersebut justru mengungkap kerapuhan mental dan kepanikan dari pihak pelaku itu sendiri.
Mereka yang mengirimkan ancaman semacam itu sesungguhnya sedang berjuang melawan rasa takutnya sendiri, takut kehilangan kuasa, takut eksploitasinya terbongkar, takut kejahatannya diproses secara hukum, dan takut pada kekuatan gerakan rakyat yang terus tumbuh.
Dengan kata lain, teror ini bukanlah tanda kekuatan, melainkan gejala kelemahan dan kepanikan.
Psikologis si pelaku sudah lebih dulu terganggu oleh kemungkinan kalah dalam pertarungan moral dan publik.
Mereka sadar, semakin banyak masyarakat adat bersatu, semakin kuat jaringan solidaritas aktivis lingkungan, maka ruang manuver mereka untuk terus merusak dan menguasai sumber daya alam akan semakin menyempit.
Maka mereka bertindak dalam kepanikan, menggunakan cara-cara kotor yang bersifat simbolik dan manipulatif.
Ironisnya, simbol kematian yang mereka kirim justru memperkuat kehidupan gerakan, memperjelas siapa yang sebenarnya sedang takut, dan membuka mata masyarakat luas akan pentingnya perlindungan terhadap para pembela lingkungan.
Teror semacam ini hanya akan mempercepat konsolidasi moral dan spiritual para pejuang, karena mereka tahu bahwa kebenaran selalu memiliki harga, dan ketakutan bukan alasan untuk menyerah.
"Ini juga menjadi panggilan moral bagi seluruh masyarakat Batak untuk tidak diam terhadap ancaman terhadap tanah leluhur dan mereka yang membelanya. Maka menurut saya respons kita pun harus kolektif dengan memperluas kesadaran, memperkuat persatuan, dan memastikan bahwa para pelaku teror tidak dibiarkan bertindak tanpa konsekuensi hukum dan sosial," pungkasnya. []