Dairi - Puluhan warga Desa Bongkaras, Kabupaten Dairi, Sumut, menggelar doa syukuran hasil pertanian dan ikrar menolak kehadiran PT Dairi Prima Mineral atau PT DPM, Kamis, 2 Desember 2021.
Desa Bongkaras adalah salah satu desa yang masuk menjadi konsesi areal tambang PT DPM. Terletak di bawah kaki pegunungan Sikalombun dan Batu Hapur. Memiliki empat sumber mata air yang menghidupi kebutuhan warga dan sumber irigasi untuk areal persawahan, yakni sumber air Batu Hapur, Sikalombun I, II dan Lae Salapsap.
Warga terdiri dari beberapa etnik, yakni Pakpak, Toba, Simalungun, Karo dan Jawa. Warga hidup berdampingan dengan aman tentram sebelum kehadiran investasi tambang.
Desa ini cukup kaya dan subur terbukti dari hasil hasil pertanian yang melimpah, tanaman unggulan, antara lain jeruk purut, padi, nilam, coklat, pinang, dan gambir tanaman endemik yang hidup berdampingan dengan hutan.
Ikan mas yang pernah tersohor di era 70-an, bahkan Menteri Perikanan kala itu, Ahmad Afandi mengunjungi desa ini dan menobatkan Desa Bongkaras menjadi salah satu desa yang makmur dan sejahtera dengan hasil pertanian.
Desa ini menjadi salah satu desa swasembada beras, sebelum banjir bandang tahun 2018 yang menewaskan tujuh orang warga. Warga bahkan menjual beras sampai ke luar desa.
Namun cerita itu, kini tinggal kenangan dan upaya Pemerintah Kabupaten Dairi, juga tidak serius untuk menanggulangi atau merencanakan normalisasi areal persawahan.
Desa Bongkaras juga pernah mengalami kejadian pahit di tahun 2012, di mana eksplorasi PT DPM di pegunungan Sikalombun terjadi kebocoran limbah dan memasuki sungai Sikalombun yang menewaskan ikan mas milik warga dan sampai kini warga kesulitan untuk membenihkan ikan mas kembali seperti sediakala.
"Hari ini kami yang menyatakan diri sebagai penolak tambang PT DPM melakukan doa syukuran atas hasil pertanian kami dan sekaligus menyatakan ikrar komitmen melawan tambang yang akan datang ke desa kami," kata Loris Bancin didampingi Darwin Situmorang, Linceria Sinambela, Korlina Simamarta, arsmi Silalahi, Regina Aritonang, Barisman hasugian, Tiasa Manik, Pardi Tampubolon, dan Marlen Girsang.
Mereka menyatakan hasil bumi mereka yang melimpah, nilam yang ditanam bisa menghasilkan 6-8 juta per tahun, durian menghasilkan 20 juta per tahun, gambir hasil mingguan, padi dua kali panen menghasilkan dua ton per tahun, dan hasil ikan mas dan jagung serta coklat sebagai pendapatan tambahan lainnya.
Dalam testimoni dan doa syukuran, mereka mengatakan hidup sejahtera, dapat memenuhi kebutuhan hidup, menyekolahkan anak–anak sampai bangku kuliah dan menikahkan anak–anak dengan adat.
Mereka menyatakan bahwa hidup mereka tidak pernah bergantung kepada tambang dan tidak pernah makan timah dan seng. Mereka ingin alam, lingkungan dan sumber air mereka tetap terjaga terus menerus.
Mereka khawatir dan sekaligus berharap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan benar-benar tidak memberikan izin lingkungan kepada PT DPM, agar mereka hidup tentram dan menghidupi kebutuhan sehari –hari dari generasi ke generasi.
"Tambang tidak pernah hidup berdampingan dan harmoni dengan pertanian, tambang rakus air, rakus tanah dan menggunakan bahan kimia yang bersifat racun, terbukti kejadian bocor limbah di masa eksplorasi di tahun 2012 yang lalu di pegunungan Sikalombun," kata Darwin Situmorang.
Hal itu kata dia dibuktikan dengan pemberian ganti rugi sebesar Rp 200. 000 per RT. Pemerintah Kabupaten Dairi membangun opini, PAD yang kecil dijadikan alat untuk melegitimasi kehadiran PT DPM.
Warga lainnya, Rinawati Sinaga mengatakan, yang akan diuntungkan dengan kehadiran PT DPM hanya kepentingan segelintir orang saja, sekelompok orang saja.
Angka pengangguran sebagai alasan investasi tambang menurutnya, tidak logika karena areal pertanian cukup luas dan selama ini diusahakan oleh petani dan pemuda di berbagai desa.
Mereka sebagai petani imbuhnya, diperhadapkan dengan pemilik saham 49 persen PT DPM, yakni Aburizal Bakrie. Pengusaha dengan jejak rekam yang buruk dalam berinvestasi berkaca dengan kasus Lapindo yang menenggelamkan 16 desa dan 3 kecamatan, ribuan warga mengungsi, bahkan semburan lumpur masih belum berhenti sampai saat ini. Perusahaan tidak bertanggung jawab dengan dalih bencana alam.
Dalam acara, khotbah dan doa syafaat dibawakan Pendeta Adventus Nadapdap dan Pendeta Palty Panjaitan.
Pendeta meneguhkan bahwa tugas dan panggilan untuk merawat alam sebagai ciptaan yang serupa dan segambar denganNya.
Disebut, seyogianya tugas kita memelihara alam lingkungan agar tetap bersukacita dan memenuhi kebutuhan rumah tangga kita. Meneguhkan iman warga untuk terus berjuang bersama Tuhan dalam mempertahankan tanah, ladang, sumber air, hasil pertanian dan generasi kelak ke depan.
Warga Desa Bongkaras kemudian menyampaikan ikrar, yakni tetap setiap menjaga dan mempertahankan seluruh kampung halaman dan pertanian, melestarikan dan melindungi lingkungan dimana mereka tinggal dengan menolak segala perusakan lingkungan
"Kami tidak mau diadu domba oleh siapapun karena kami menjunjung tinggi perdamaian dan keagamaan. Kami sudah nyaman hidup dan tinggal di tanah kami ini. Eme si tamba tua parlinggoman nisi borok, debata do silehon tua, sai tongtong ma hita diparorot," demikian tegas warga. []