Pilihan Jum'at, 24 Desember 2021 | 18:12

Kolaborasi, Kunci Peningkatan Produktivitas Masyarakat Desa

Lihat Foto Kolaborasi, Kunci Peningkatan Produktivitas Masyarakat Desa Pengamat perburuhan dan ketenagakerjaan, Abdul Hakim. (Foto: Opsi/Istimewa)
Editor: Eno Dimedjo

Oleh: Abdul Hakim, Pengamat perburuhan dan ketenagakerjaanOleh: Oleh: Abdul Hakim, Pengamat perburuhan dan ketenagakerjaan

Sudah lama desa tak tersentuh oleh pembangunan. Orang lebih suka bicara tentang pembangunan di kota. Diyakini betul bahwa desa mewakili keterbelakangan, tradisional, kolot dan miskin. Sementara, kota mewakili kemodernan, kemajuan, dan kesejahteraan. Situasi itu berlangsung sampai akhir 1998.

Untungnya, para ahli sering mengingatkan bahwa meninggalkan desa berarti meninggalkan keluhuran budi pekerti dan keteladanan. Memprioritaskan perkotaan justru akan semakin membuat desa makin tertinggal, menurunkan derajat kesejahteraan, meningkatkan pengangguran, dan menurunkan produktivitas masyarakat. Ujungnya, meninggalkan desa berarti memperluas wilayah kemiskinan dan menurunkan angka pertumbuhan ekonomi Nasional.

Itu dulu? Tidak. Paradigma bahwa meninggalkan desa berarti meninggalkan keluhuran budi pekerti dan justru meningkatkan kemiskinan harus tetap dipegang. Beruntung pemerintah mulai sadar akan kesalahannya karena meninggalkan desa. Pengakuan ini ditandai dengan dibentuknya kementerian yang memiliki tugas dan fungsi menangani desa oleh Presiden Gus Dur. Presiden Jokowi melengkapinya dengan menyediakan dana desa untuk menjadi pengungkit munculnya kebijakan berperspektif ramah dan adil pada desa.

Tulisan ini berfokus pada sejauhmana kebijakan berperspektif ramah dan adil desa juga memperhatikan peningkatan produktivitas desa. Sebab, peningkatan produktivitas itulah salah satu variabel penting kemajuan desa.

Produktivitas dan Desa

Konsep "produktivitas" sering dipahami secara sederhana. Konsep ini dikecilkan hanya dengan sebagai profit, atau ratio antara keluaran dan masukan.

Definisi semacam ini ditengarai bias pada industri berbau perkotaan, seperti manufaktur, garmen, dan konstruksi. Ketika definisi ditempelkan pada industri perdesaan, maka definisi ini terbukti makin mendorong penduduknya meningkatkan masukan untuk meningkatkan keuntungan. Petani berlomba-lomba menambah pupuk (kimia), mengurangi penggunaan pekerja/buruh, dan menjual lahan mereka agar memiliki dana menambah pupuk serta mempersempit lahan olahan pertanian demi mengurangi biaya produksi.

Itulah yang terjadi bertahun-tahun. Itu juga yang membuat lahan pertanian semakin tak mampu untuk membiayai desa. Bahkan, itulah yang menguatkan tekad kaum muda untuk mencari profesi baru di perkotaan ketimbang memperkuat produktivitas mereka di desa.

Padahal, banyak Negara dan ahli memahami dan mengakui bahwa produktivitas memiliki makna luas. Produktivitas bermakna besar. Dia tak hanya bermakna dua sisi: untung dan rugi. Dia punya banyak dimensi.

Produktivitas dan Kolaborasi

Jika merujuk pada data Potensi Desa 2017, jumlah desa yang masih berkutat pada kemiskinan masih cukup tinggi. Jumlahnya masih mencapai hampir 15% dari 74 ribu desa. Jumlah ini meliputi semua desa di wilayah terdepan, terluar dan tertinggal (3T) serta desa-desa dalam kabupaten miskin sumberdaya.

Apakah dana desa mampu mengatasinya? Terlepas dari akuntabilitas dan metode perencanaan serta penggunaannya, sejak awal, semua pihak yakin bahwa membangun desa untuk lebih produktif bukan kerja mudah. Selain karena ketidakyakinan, banyak pihak menilai pembangunan produktivitas desa adalah hal yang berat dan membebani, kalau tidak mau disebut mustahil. 

Pandangan pesimis itu didasari oleh ketidakmampuan akan melihat potensi desa dan manusianya. Bahkan beberapa pihak diyakini memiliki inferioritas bahwa produktivitas bukanlah milik orang desa sejak mereka hanya berorientasi pada keuntungan belaka.

Lalu, awan gelap pembangunan desa mulai terkuak sejak makin besar kuantitas orang yang mengakui bahwa peningkatan produktivitas desa hanya bisa diperkuat dengan kolaborasi antar banyak pihak.

Itulah yang terlihat dari ragam kegiatan yang dilaksanakan bermacam instansi pemerintah, non pemerintah, organisasi internasional dan masyarakat belakangan ini.

Pembangunan panel surya di Distrik Klayli, Kabupaten Sorong, Papua Barat adalah satu dari sejumlah kolaborasi penting antar sejumlah pihak. Kolaborasi antara Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Desa dan Pembangunan Desa Tertinggal, Pemerintah Kabupaten Sorong, Asian Productivity Organization (APO), Tatung Company-Taiwan dan (paling penting adalah) masyarakat Distrik Klayli membuktikan bahwa pembangunan desa dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

Meski proses baru berjalan hingga pada proses pembuatan tempat penyimpanan baterai, namun kolaborasi ini sudah mengundang kebahagiaan banyak pihak, khususnya penduduk Klayli. 

Panel Surya ini, meski hanya berkapasitas 1000 watt, sepanjang dirawat dan dipelihara secara efektif dan efisien akan menyumbang pada banyak hal: peningkatan produktivitas, pertumbuhan ekonomi Distrik Klayli serta mengurangi angka kemiskinan di lokasi itu.

Kementerian Ketenagakerjaan juga tak hanya menjadi perantara. Melalui Balai Latihan Kerja Indonesia (BLKI) Sorong mereka telah menyiapkan pelatihan pemanfaatan dan perawatan panel Surya bagi para pemuda Papua. Itu hal penting yang tak mungkin dinafikan atau diabaikan.

Kolaborasi ini juga membuktikan bahwa perubahan yang baik akan menghasilkan keteladanan. Sebab, keteladanan hanya akan muncul dari tindakan yang membahagiakan pelaku perubahan dan banyak pihak yang terbantu, serta menyenangkan hati bagi pelaku dan mereka yang akan menikmati hasilnya di masa depan. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya