Medan - Gelombang penolakan terhadap rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto semakin menguat, termasuk dari Aktivis PENA 98 di Sumatra Utara.
Perwakilan PENA 98, Patricius M. Rajagukguk mengungkapkan bahwa pihaknya menolak usulan tersebut. Ia menegaskan hal itu merupakan sebuah pengkhianatan terhadap sejarah dan perjuangan Reformasi 1998.
Dia menuturkan, pemberian gelar itu bertentangan dengan salah satu tuntutan utama gerakan Reformasi, yaitu turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan.
“Soeharto terlibat dalam praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) selama masa pemerintahannya. Selama 32 tahun, Orde Baru berada di bawah pemberangusan demokrasi,” kata Patricius dalam keterangannya, Senin, 30 September 2024.
Lebih lanjut, dia juga menyoroti adanya upaya untuk memutarbalikkan sejarah reformasi, yang berpotensi mengubah narasi publik mengenai Soeharto.
Dia menilai bahwa penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR merupakan bagian dari strategi untuk menciptakan kondisi di mana mantan presiden itu dianggap layak menerima gelar Pahlawan Nasional.
“Saat ini, ada upaya pembelokan sejarah untuk menghapus jejak hitam Soeharto dan menjadikannya pahlawan,” ujarnya.
Selain itu, Patricius menegaskan bahwa rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto harus segera dibatalkan.
“Pemberian gelar ini mengkhianati sejarah dan perjuangan rakyat yang menuntut reformasi,” tegasnya.
Ia berharap masyarakat dan pemerintah dapat melihat sejarah dengan jernih dan tidak terjebak dalam rekayasa yang merugikan.
Dengan penolakan yang semakin meluas, langkah pemerintah untuk mengabadikan nama Soeharto dalam catatan sejarah sebagai pahlawan patut dipertanyakan.
Aktivis dan masyarakat sipil diharapkan terus bersuara untuk melestarikan sejarah yang sebenarnya.[]