Jakarta - Ambang batas atas capres/cawapres diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh seorang advokat bernama Gugum Ridho Putra.
MK kemudian menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Rabu, 11 Oktober 2023.
Gugum mempersoalkan norma yang berbunyi, “Pasal 222 UU 7/2017 Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.
MK menggelar sidang panel dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam permohonannya, Gugum mengungkapkan alasannya menguji Pasal 222 ini dengan batu uji ketentuan Pasal 1 ayat (2) dengan Pasal 6A ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Ketentuan Pasal 222 menimbulkan ketidakpastian hukum karena berpotensi memunculkan koalisi super dominan yang dapat mengunci pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon atau satu pasangan calon tunggal,” ujar Gugum dilansir dari laman MK, Kamis, 12 Oktober 2023.
Gugum mengungkapkan, UU Pemilu telah mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh peserta dalam pemilu presiden dan wakil presiden.
Selain mengatur syarat-syarat ketentuan Pasal 222 UU Pemilu terlebih juga telah mengatur syarat pencalonan yang diberlakukan bagi partai atau gabungan partai yang akan mengusung capres dan cawapres.
Ketentuan Pasal 222 UU Pemilu menentukan syarat minimal atau batas bawah syarat pencalonan berupa kursi di DPR atau syarat suara sah.
Berdasarkan ketentuan ini, Gugum melanjutkan, setiap partai ataupun gabungan partai yang hendak mengusung calon presiden dan wakil presiden harus memenuhi perolehan kursi DPR sebanyak 20 persen atau syarat perolehan suara dalam pemilu legislatif sebelumnya sebesar 25 persen.
Itulah alasan partai-partai saling berkoalisi satu sama lain semata memenuhi syarat minimal pencalonan presiden dan wakil presiden tersebut.
Dia menegaskan, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang hanya mengatur syarat batas bawah pencalonan tanpa ada mengatur syarat batas atas pencalonan.
Hal itu membuka kemungkinan partai-partai bergabung, mengumpulkan syarat kursi dan suara sebanyak-banyaknya tanpa batas.
Akibatnya ketentuan a quo berpotensi menyebabkan dua kondisi, yakni menyebabkan gabungan parpol berpotensi dapat membentuk koalisi super dominan dan menyisakan koalisi minoritas partai yang lebih kecil sehingga presiden dan wakil presiden diikuti oleh dua pasangan calon saja.
"Atau kedua, menyebabkan munculnya potensi pemilihan capres dan cawapres dan hanya diikuti oleh pasangan calon saja atau capres atau cawapres tunggal. Apabila salah satu dari dua pasangan calon yang ada terutama koalisi minoritas sehingga dinyatakan gugur karena tidak memenuhi persyaratan dari KPU,” terang Gugum.
BACA JUGA: Ketum GAMKI Menilai Positif Gugatan Batas Usia Capres Cawapres di MK
Selain itu, Gugum menegaskan, berlakunya ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang tidak mengatur batas pencalonan presiden dan wakil presiden itu bertentangan dengan prinsip konstitusionalisme atau pembatasan kekuasaan.
Sebab, ketiadaan batas itu menyebabkan gabungan partai-partai dapat mengumpulkan syarat kursi dan suara sebanyak-banyaknya tanpa pembatasan sama sekali.
Semakin banyak jumlah kursi atau suara yang dikumpulkan maka semakin besar pula potensi kekuasaan yang dimiliki oleh gabungan partai-partai membentuk koalisi super dominan sehingga potensi kesewenang-wenangan juga semakin besar terjadi.
Untuk itu, dalam petitumnya, dia meminta MK agar menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula “Pasangan Calon diusulkan oleh Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu paling banyak 40% (empat puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh paling banyak 50% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.
Atas permohonan dimaksud, Manahan MP Sitompul meminta Gugum memperkuat kedudukan hukumnya.
“Boleh nanti diperkuat pemohon ini sudah pernahkah mengikuti pemilu atau berdasarkan umur yang umur sekian tentu memiliki hak memilih. Kalau sudah pernah jadi faktual atau aktual ya. Nah, itu kira-kira dari legal standing, jadi bukan dari yang dipilih tetapi menjadi persoalan juga legal standing ini karena pernah MK memutus bahwa itu yang berhak mempersoalkan pasal 222 itu sudah pernah dan yang mempermasalahkan hanya partai politik peserta pemilu. Itu perlu diuraikan, hanya legal standing dalam norma yang diuji karena alasan yang berbeda mungkin. Di dalam legal standing coba nanti diuraikan bagaimana isi putusan yang menyangkut soal itu?” ujar Manahan.
Saldi Isra mengatakan kerugian konstitusional yang dialami oleh Gugum bersifat potensial, bukan faktual. Sehingga ia meminta pemohon untuk berhati-hati.
“Jadi hati-hati bahwa Pemohon berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya. Berpotensi jadi belum faktual. Itu yang harus dipikirkan. Selain itu, dalam konsep legal standing yang itu potensi atau kerugian yang dialami pemohon apa hubungan dengan jutaan pemilihan lain dengan pemohon itu. Itu yang harus diperhatikan dalam legal standing,” ujar Saldi.
Dia juga meminta Gugum, dalam alasan mengajukan permohonan yang perlu ditambahkan keterkaitan antara norma yang diuji dengan dasar pengujian di permohonan.
“Oleh karena itu, tolong juga nanti ada penjelasan kira-kira kenapa norma yang exist itu Pasal 222 yang kalau tidak dilakukan ambang batas itu akan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) lalu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) lalu bertentangan juga dengan Pasal 28D ayat (1). Ini kan dibungkus saja menjadi satu poin tetapi belum jelas ini kenapa bertentangan,” tegasnya.
Saldi mengatakan Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun batas maksimal penyerahan berkas perbaikan adalah 24 Oktober 2023. []