Jakarta — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) resmi melaporkan organisasi masyarakat (ormas) GRIB Jaya ke Polda Metro Jaya atas dugaan pendudukan tanpa hak terhadap lahan negara seluas 127.780 meter persegi di Kelurahan Pondok Betung, Kota Tangerang Selatan, Banten.
Laporan tersebut tertuang dalam surat bernomor e.T/PL.04.00/001/KB/V/2025 yang diajukan BMKG kepada aparat penegak hukum.
Selain ke kepolisian, surat juga ditembuskan ke Satgas Terpadu Penanganan Premanisme dan Ormas di bawah Kemenko Polhukam, Polres Tangerang Selatan, dan Polsek Pondok Aren.
“BMKG memohon bantuan pihak berwenang untuk melakukan penertiban terhadap ormas GRIB Jaya yang tanpa hak menduduki dan memanfaatkan aset tanah negara milik BMKG,” kata Plt Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama BMKG, Akhmad Taufan Maulana, seperti dikutip Antara, Jumat, 23 Mei 2025.
Taufan mengungkapkan bahwa gangguan keamanan di lahan tersebut telah berlangsung hampir dua tahun. Gangguan tersebut menghambat rencana pembangunan Gedung Arsip BMKG yang telah dimulai sejak November 2023.
Proyek Negara Dihambat, Alat Berat Ditarik Paksa
BMKG menyebut sejumlah aksi mengganggu telah dilakukan oleh kelompok ormas GRIB Jaya, termasuk memaksa pekerja menghentikan aktivitas konstruksi, menarik alat berat keluar dari area proyek, serta menutup papan proyek dengan klaim "Tanah Milik Ahli Waris".
Tak hanya itu, ormas GRIB Jaya juga dilaporkan mendirikan pos permanen dan menempatkan anggota mereka secara tetap di lokasi. Bahkan sebagian lahan diduga telah disewakan kepada pihak ketiga dan berdiri bangunan semi permanen di atasnya.
Pihak BMKG menegaskan bahwa lahan tersebut sah milik negara berdasarkan Sertifikat Hak Pakai (SHP) No. 1/Pondok Betung Tahun 2003.
Legalitas ini telah diperkuat oleh sejumlah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, termasuk Putusan Mahkamah Agung RI No. 396 PK/Pdt/2000 tanggal 8 Januari 2007.
“Ketua Pengadilan Negeri Tangerang juga telah menyatakan secara tertulis bahwa seluruh putusan tersebut saling menguatkan, sehingga tidak perlu dilakukan eksekusi ulang,” ujar Taufan.
Diminta Tebus Rp 5 Miliar
Meski telah mengantongi legitimasi hukum, BMKG tetap menempuh jalur persuasif melalui koordinasi dengan aparat setempat, pertemuan dengan pihak ormas, serta mereka yang mengklaim sebagai ahli waris. Namun upaya tersebut tak membuahkan hasil.
Dalam salah satu pertemuan, pimpinan ormas disebut mengajukan syarat berupa tuntutan ganti rugi senilai Rp 5 miliar agar massa ditarik dari lokasi proyek.
BMKG menolak syarat tersebut karena dinilai merugikan negara dan menghambat pembangunan fasilitas layanan publik.
Gedung Arsip BMKG dirancang sebagai infrastruktur strategis yang menunjang sistem informasi kelembagaan, audit, investigasi, dan transparansi publik.
Proyek ini bersifat kontrak multiyears dengan masa kerja 150 hari kalender sejak 24 November 2023.
BMKG Minta Penertiban Segera
“Fasilitas ini penting untuk mendukung akuntabilitas dan pelayanan publik BMKG sebagai institusi pemerintah. Oleh karena itu, keberlanjutan proyek tidak boleh terganggu,” tegas Taufan.
BMKG berharap pihak kepolisian dan instansi terkait dapat segera melakukan tindakan penertiban terhadap pendudukan ilegal di atas tanah negara tersebut.
Penegakan hukum diperlukan untuk menjamin kepastian hukum dan menjaga aset negara dari penguasaan sewenang-wenang.[]