Jakarta - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan akan menerapkan skema Pentahelix untuk mencegah dan menanggulangi aksi terorisme serta radikalisme pada tahun 2022 ini.
Kepala BNPT, Komjen Pol Boy Rafly Amar mengatakan konsep Pentahelix merupakan langkah pelibatan lima unsur, yakni pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat, dan media.
"Konsep Pentahelix merupakan gabungan lima unsur untuk pencegahan dan penanggulangan radikalisme dan terorisme. Pada 2022, kami mulai menerapkan konsep Pentahelix," kata Boy dalam keterangannya, Selasa, 15 Februari 2022.
Dia menjelaskan, penerapan konsep Pentahelix diharapkan mampu membuat multi-sektor yang ada bisa bersinergi secara lebih mendalam untuk mencegah dan menanggulangi radikalisme, khususnya menangkal unsur terorisme transnasional dan transideologi.
Menurutnya, berdasarkan data yang dimiliki BNPT sedikitnya ada 120 negara di dunia yang kini terdampak adanya aksi terorisme yang bersumber dari transnasional dan transideologi.
"Terorisme ini sangat terkait dengan transnasional dan transideologi yang saat ini tengah gencar berkembang," ujarnya.
Untuk itu, lanjutnya, peran bersama unsur Pentahelix, khususnya media memiliki peran mencegah berkembangnya ujaran kebencian dan berita-berita hoaks sehingga diharapkan dengan peranan tersebut akan membuat publik memiliki imunitas dan terhindar dari berita hoaks.
Secara khusus Mantan Kadiv Humas Polri itu mengingatkan bahwa masyarakat hendaknya mengingat kembali upaya besar para pemuda Nusantara pada 1928 yang telah berikrar untuk tetap bersatu demi Indonesia.
"Rasa nasionalisme yang telah dirajut pada Sumpah Pemuda mesti dijaga dan dirawat. Untuk itu BNPT dan FKPT bersinergi dengan sejumlah pihak akan berupaya maksimal agar kejahatan terorisme tidak terjadi di Indonesia," tutur Boy Rafly.
Sementara, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak mengatakan bahwa ke depan BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) diharapkan mampu bersinergi untuk mengatasi dampak dunia teknologi yang berubah cepat.
Dampak dunia teknologi yang berubah cepat tersebut, lanjutnya, terkait dengan berkembangnya ujaran kebencian dan berita hoaks yang sangat mudah beredar di masyarakat. Penggunaan media sosial harus dilakukan secara tidak berlebihan dan bertanggung jawab.
"Semua itu mesti ditanggulangi bersama dengan adanya sinergi, termasuk dalam mencegah radikalisme," kata Emil.[]