Jayapura - Antropolog, peneliti, dan kurator seni budaya dari Universitas Cendrawasih Enrico Kondologit menyebut, sejak Otonomi Khusus dilaksanakan, Papua mengalami pembangunan fisik dan ekonomi yang demikian pesat.
Namun berdampak pada masyarakat adat di Papua yang kehilangan tanah dan tempat-tempat sakral.
Seperti yang terjadi Kota Jayapura sebagai pusat pemerintahan Provinsi Papua. Dari 10 suku yang ada, sudah tidak ditemukan rumah adatnya.
Perahu tradisi, benda budaya materi, bahkan aksesoris tarian adatnya pun telah tergantikan dengan yang modern.
"Untuk itu perlu adanya usaha mempertahankan eksistensi budaya orang Papua lewat seni yang ada saat ini, sehingga dapat menjadi warisan bagi generasi Papua di masa yang akan datang," kata dia saat hadir dalam Temu Seni di Jayapura, Senin, 11 Juli 2022.
Temu Senin difasilitasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan. Kegiatan digelar hingga 17 Juli 2022.
Sebanyak 14 seniman muda dari berbagai wilayah hadir di sana. Mereka ari beragam latar genre musik.
Kegiatan itu dalam ajang silaturahmi, apresiasi, dan jejaring musik sekaligus memperkenalkan Indonesia Bertutur 2022 di daerah cagar budaya.
Dan bagian dari perhelatan Pertemuan Menteri-Menteri Kebudayaan G20 (G20 Ministerial Meeting on Culture) di Kawasan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada September 2022.
Dalam penjelasan lebih jauh, Enrico Yory Kondologit menyampaikan, Papua begitu kaya. Ada lebih dari 250-an suku bangsa dan bahasa.
Baca juga:
DPR RI Sahkan 3 UU Provinsi Baru di Papua
Menurut dia, secara tradisional, kesenian tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Melalui kesenian dapat menyampaikan dan menyalurkan pengalaman, rasa dan ide kepada orang lain.
"Dalam kesenian terdapat simbol-simbol yang dianggap sakral dan penuh makna yang kerap dikatakan sebagai rahasia hidup orang Papua,” katanya.
Enrico menjelaskan bahwa orang Papua dapat dikenali dari aspek budayanya. Ada beberapa aspek digunakan, salah satunya klasifikasi wilayah budaya di Tanah Papua.
Ini sudah ada sejak tahun 1983 dan dilakukan oleh Don A.L. Flassy, dengan merujuk pada tujuh aspek etnografi dan corak seni budaya di Tanah Papua.
Dihubungkan pula dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh antropolog Barat, seperti J.G. Held (1979) tentang “Cultuur Provincie” (Provinsi Kebudayaan) dan oleh A.A. Gerbrands (1979) tentang “Art Style Areas” (Wilayah Gaya Seni).
Flassy membagi wilayah budaya Papua ke dalam 14 bagian, antara lain Wilayah Budaya Tabi, Saireri, Doberai, Bomberai, Ha Anim, La Paqo, dan Meepago.
Ke-14 musisi muda yang hadir yakni, Wahyu Thoyyib Pambayun, Rani Jambak, Halida Bungan Fisandra, Sraya Murtikanti, I Gede Yogi Sukawiadnyana, Presley Talaud, Christian Setyo Adi, Melfritin Waimbo, Yudhi Kalwa, Bastian Marani, Purwoko Ryan Ajayanto, Sri Hanuraga, Ana Adila Putri dan Yuddan Fijar SugmaTimur.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media, Kemendikbud Ristek RI, Ahmad Mahendra menyampaikan, kegiatan tidak hanya untuk menjadi wadah pertemuan para praktisi seni kontemporer dari berbagai wilayah di Indonesia.
Namun juga dapat menjadi sarana berbagi, diskusi, kolaborasi, dan ajang bertukar pikiran antara seniman-seniman muda Indonesia. []