Pilihan Senin, 17 Juli 2023 | 15:07

Fenomena Kebocoran Data Pribadi di Indonesia: Ancaman Serius Bagi Negara dan Masyarakat

Lihat Foto Fenomena Kebocoran Data Pribadi di Indonesia: Ancaman Serius Bagi Negara dan Masyarakat Pakar keamanan siber Dr. Pratama Persadha. (Foto: ANTARA/HO-CISSReC)

Jakarta - Akhir-akhir ini, dunia keamanan siber di Indonesia acap kali geger dengan sering terjadinya serangan siber serta pencurian data pribadi baik dari lembaga pemerintahan maupun korporasi, seperti serangan ransomware yang menyerang Garuda Indonesia dan Bank Syariah Indonesia serta pencurian data pribadi yang dilakukan oleh hacker Bjorka pada data paspor Dirjen Imigrasi, Data pelanggan Myindihome Telkom Indonesia serta berbagai data pribadi lainnya.

Pakar keamanan siber Dr. Pratama Persadha menjelaskan tentang maraknya pencurian data yang terjadi di Indonesia.

"Serangan siber yang paling akhir terjadi saat ini adalah pencurian data pribadi yang diklaim berasal dari Dukcapil Kementerian Dalam Negeri. Informasi kebocoran data tersebut diunggah pada sebuah forum yang biasa dipergunakan untuk melakukan jual beli kebocoran data yang seorang hacker berhasil dapatkan pada tanggal 14 Juli 2023 oleh seseorang dengan nama samaran `RRR`," kata Pratama seperti mengutip keterangannya, Senin, 17 Juli 2023.

"Data pribadi yang diklaim didapatkan oleh akun "RRR" tersebut berjumlah 337 juta data terkait penduduk Indonesia yang berhasil didapatkannya dari server dukcapil.kemendagri.go.id. Menurut pernyataan "RRR", dia juga berhasil mendapatkan total 7 table di mana yang ditawarkan untuk dijual saat ini adalah salah satu dari table tersebut. Dari tangkapan layar yang dibagikan, data yang ditawarkan tersebut berasal dari table `data_penduduks`," sambungnya.

Doktor yang mengambil S3 di UGM & UI ini menambahkan, jika ada beberapa field yang sangat berbahaya bagi masyarakat terdampak kebocoran data ini karena terdapat field "NAMA_LGKP_IBU",  di mana data nama lengkap ibu kandung biasanya dipergunakan sebagai lapisan keamanan tambahan di sektor perbankan karena nama lengkap ibu kandung ini akan diminta pada saat melakukan pembukaan rekening bank serta kartu kredit.

Lebih lanjut, kata dia, jika melakukan aktivitas perbankan melalui customer service baik melalui telepon atau offline di cabang bank maka akan ditanyakan nama ibu kandung pada saat melakukan verifikasi data perbankan selain data diri dari nasabah.

Dia mengungkapkan, hal tersebut dikarenakan nama ibu kandung adalah sebuah data yang tidak diketahui oleh orang banyak dan jarang diketahui oleh orang lain.

"Dapat dibayangkan betapa berbahayanya data nama ibu kandung tersebut jika sampai data ini jatuh ke tangan orang yang akan melakukan tindakan kriminal dan penipuan terutama jika data tersebut digabungkan dengan kebocoran data lainnya sehingga bisa mendapatkan profil data yang cukup lengkap dari calon korban penipuan seperti Nama, NIK, No KK, Alamat, No HP, Alamat Email, No Rekening, Nama Ibu Kandung, dll sehingga pelaku kejahatan bisa leluasa melakukan penipuan dengan metode social engineering menggunakan data tersebut," tuturnya.

Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC ini menegaskan, kebocoran data ini tentu sangat berbahaya bagi masyarakat yang datanya termasuk dalam data yang didapatkan oleh hacker tersebut.

"Karena data pribadi yang ada tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang lain untuk melakukan tindak kejahatan seperti penipuan, baik penipuan secara langsung kepada orang yang datanya bocor tersebut, maupun penipuan lain dengan mengatasnamakan atau menggunakan data pribadi orang lain yang bocor tersebut. Yang lebih berbahaya lagi jika data pribadi tersebut dipergunakan untuk membuat identitas palsu yang kemudian dipergunakan untuk melakukan tindakan terorisme, sehingga pihak serta keluarga yang data pribadinya dipergunakan akan mendapat tuduhan sebagai teroris atau kelompok pendukungnya," ujarnya.

Mantan Direktur Pam Sinyal BSSN ini menambahkan, jika kebocoran data yang terjadi juga dapat merugikan pemerintah, karena jika sumber kebocoran di klaim berasal dari salah satu lembaga pemerintahan, pihak lain akan menyimpulkan bahwa faktor keamanan siber sektor pemerintahan adalah cukup rendah.

Hal ini akan mencoreng nama baik pemerintah baik dimata masyarakat Indonesia maupun dimata dunia internasional, karena pemerintah tidak sanggup melakukan pengamanan siber untuk institusinya, padahal banyak pihak yang memiliki kompetensi tinggi seperti BSSN, BIN serta Kominfo.

Meskipun belum ada keterangan resmi dari Dirjen Disdukcapil, Ada beberapa field yang mengarah bahwa data yang bocor tersebut kemungkinan memang berasal dari antara lain ada beberapa field yaitu EKTP_CREATED_DATE, EKTP_CREATED_BY, EKTP_UPDATED_DATE, EKTP_UPDATED_BY, EKTP_UPLOAD_LOCATION, EKTP_BATCH serta EKTP_CURRENT_STATUS_CODE dimana data seharusnya terkait dengan penerbitan EKTP. Hanya saja pada data sample yang diberikan oleh akun anonim "RRR" data tersebut masih kosong semua. Selain data yang terkait dengan EKTP, ada beberapa field seperti IP_PET_REG, NAMA_PET_ENTRI, NIP_PET_ENTRI, TGL_ENTRI yang bisa dimanfaatkan untuk verififikasi apakah betul data bersumber dari disdukcapil.

"Dari hasil investigasi singkat CISSReC, beberapa nama yang tercantum dalam field "NAMA_PET_ENTRI" adalah karyawan dari Disdukcapil," imbuh dosen tetap STIN dan PTIK ini.

Hacker dengan nama anonim "RRR" tersebut tidak hanya memberikan informasi kebocoran data dari Disdukcapil saja. Di Forum tersebut akun "RRR" juga memberikan serta menawarkan beberapa data Indonesia lainnya seperti 1.3 triliun data registrasi simcard, 36 juta data Kendaraan Bermotor, 272 juta data BPJS, 2 juta data photo dari BPJS, 34 juta data paspor, 6,9 juta data Visa, 186 juta data KPU, 1 triliun data Kemendesa, 337 juta data Disdukcapil serta yang paling baru adalah 6,8 juta data DPT provinsi DKI.

Selain data dari negara Indonesia, akun "RRR" juga menawarkan beberapa data yang juga didapatkan dari negara lainnya seperti 15 juta data korporasi Jepang, 108 juta data Iran Telecom, 3 juta data kendaraan, dan 2.8 juta data penduduk Lebanon, 28.6 juta data pekerja Taiwan, 23.5 juta data kependudukan Taiwan, 30 juta data pribadi penduduk Thailand, 789 juta data pemilih India, 10 juta data dari operator telekomunikasi Jordania, 23 juta data Facebook Jepang serta 51 juta data Facebook Vietnam.

Melihat seringnya terjadi kebocoran data pribadi, pemerintah harus lebih serius dalam menerapkan hukum dan regulasi terkait dengan Pelindungan Data Pribadi.

Dalam kasus kebocoran data, pihak-pihak yang harus bertanggung jawab adalah perusahaan sebagai pengendali atau pemroses data, serta pelaku kejahatan siber yang menyebarkan data pribadi ke ruang publik. Untuk pihak-pihak yang berdomisili di Indonesia kita bisa menggunakan UU PDP pasal 57 sebagai dasar tuntutan.

Pakar yang sedang mengambil studi di Lemhanas ini menambahkan bahwa UU PDP bukanlah tidak ampuh, namun belum bisa diterapkan secara maksimal karena adanya beberapa hambatan.

UU PDP memang sudah disahkan pada tahun 2022 dan langsung berlaku saat diundangkan, namun DPR dan pemerintah masih memberikan masa transisi selama 2 tahun, seperti diatur dalam UU PDP pasal 74, untuk semua pihak mulai menyesuaikan kebijakan internal sesuai dengan diatur dalam UU PDP termasuk salah satunya adalah merekrut Petugas Pelindungan Data (Data Protection Officer).

Namun pelanggaran terkait UU PDP yang dilakukan selama masa transisi tersebut sudah dapat dikenakan sanksi hukuman pidana, hal ini sesuai dengan pasal 76 UU PDP yang menyebutkan bahwa undang-undang berlaku sejak tanggal diundangkan, meskipun untuk sanksi administratif masih harus menunggu turunan dari UU PDP.

Hal ini tentu saja berbeda dengan UU no 1 tahun 2023 tentang KUHP di mana dalam pasal 624 UU KUHP diatur bahwa UU KUHP mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.

"Hanya saja sanksi hukuman tersebut hanya dapat dijatuhkan oleh lembaga atau komisi yang dibentuk oleh pemerintah dalam hal ini adalah Presiden. Sehingga jika komisi PDP tersebut tidak segera dibentuk, maka pelanggaran yang dilakukan tidak akan dapat diberikan sanksi hukuman. Oktober 2024 adalah batas maksimal diberlakukannya UU PDP secara penuh, namun seharusnya bisa lebih cepat jika pemerintah sudah membentuk lembaganya serta turunan UU-nya," kata dia.

"Jadi yang perlu secepatnya dilakukan oleh pemerintah adalah Presiden segera membentuk komisi PDP sesuai amanat UU PDP pasal 58 s.d. pasal 60 UU PDP di mana lembaga pengawas PDP ini berada di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden, karena dengan melakukan pembentukan lembaga atau otoritas tersebut proses penegakan hukum serta pemberian sanksi bisa segera diterapkan sehingga diharapkan dengan diterapkan sanksi administratif serta sanksi hukum yang ada di UU PDP, pihak pihak yang terkait dengan data pribadi lebih perhatian terhadap keamanan data pribadi. Hal ini adalah supaya kasus-kasus insiden kebocoran data pribadi dapat diselesaikan dengan baik dan rakyat bisa terlindungi," ucap Pratama menambahkan.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya