Medan - Sekretariat Bersama (Sekber) Gerakan Oikumenis untuk Keadilan Ekologis di Sumatera Utara menyampaikan kekecewaan dan sikap kritis terhadap Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, yang dinilai tidak menunjukkan langkah nyata setelah aksi damai pada 10 November 2025 lalu di Kantor Gubernur Sumatera Utara.
Aksi ini melibatkan ribuan orang dari berbagai elemen masyarakat dari berbagai daerah mulai dari Pastor, Pendeta, Ulama, Masyarakat Adat, Petani, Mahasiswa, dan seluruh masyarakat sipil lainnya yang semuanya menyerukan satu tuntutan yaitu: Tutup TPL!
Adapun sikap ini disampaikan melalui konferensi pers yang digelar di kantor JPIC Kapusin Medan dengan dihadiri narasumber, yaitu Pastor Walden Sitanggang, OFM. Cap selaku Ketua Sekber, Rocky Pasaribu dari KSPPM, Jhontoni Tarihoran dari AMAN Tano Batak, dan Lamsiang Sitompul dari Horas Bangso Batak (HBB).
Pastor Walden menegaskan, bahwa Pemprov Sumatera Utara seharusnya menangkap pesan moral dan politik dari aksi besar tersebut.
Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Pastor Walden menyayangkan pernyataan Gubernur Bobby Nasution yang lebih menekankan bahwa PT TPL memiliki konsesi yang tidak boleh dihalang-halangi.
Menurutnya, narasi itu menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada perusahaan, bukan kepada masyarakat yang selama puluhan tahun menanggung dampak ekologi, kriminalisasi, dan perampasan ruang hidup.
Ia menambahkan bahwa sampai hari ini tidak ada jadwal pertemuan maupun kunjungan lapangan (ke Sihaporas) seperti yang dijanjikan Pj Sekda Provsu saat aksi tersebut kepada Sekber. Ketidakjelasan ini menunjukkan absennya itikad baik yang sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Rocky Pasaribu dari KSPPM memperkuat kritik tersebut dengan menegaskan bahwa tuntutan masyarakat sebenarnya sangat terang, yaitu Gubernur Sumut harus mengeluarkan rekomendasi resmi untuk menutup PT TPL.
Menurutnya, langkah itu jauh lebih substansial dibandingkan sekadar kunjungan lapangan atau retorika administratif lainnya.
Rocky memaparkan bahwa setidaknya 500 warga telah menjadi korban pelanggaran HAM yang berhubungan dengan konflik atas konsesi perusahaan tersebut.
Sebanyak 13 bencana ekologis terjadi akibat aktivitas TPL. Kemudian ia mengatakan bahwa KSPPM dan AMAN Tano Batak mendampingi setidaknya 23 komunitas adat yang wilayahnya tumpang tindih dengan konsesi TPL.
Bahkan parahnya selama ini belum ada penetapan kawasan hutan khususnya yang berkaitan dengan konsesi TPL, yang dilakukan masih dalam tahap penunjukkan, sehingga hal ini mengindikasikan bahwa konsesi tersebut berada di wilayah yang ilegal.
Selanjutnya Rocky menilai bahwa secara sosial, ekonomi, dan ekologis, masyarakat akan jauh lebih sejahtera apabila wilayah-wilayah tersebut dikembalikan kepada pengelolaan masyarakat adat dan petani.
Terakhir, menurutnya proses hukum yang berjalan selama ini tidak cukup untuk menyelesaikan kasus besar seperti ini, karena akar masalahnya terletak pada kelanjutan operasi TPL itu sendiri.
Ia menegaskan bahwa apabila hingga akhir bulan November ini tidak ada respons dari Gubernur Sumut, Sekber akan mempertimbangkan langkah-langkah lanjutan sebagai bentuk sikap moral dan politik mereka.
Jhontoni Tarihoran dari AMAN Tano Batak memperdalam kritik dengan menyampaikan bahwa dengan belum adanya respons dari Gubsu ini membuat keberadaan masyarakat berada dalam kondisi terancam, baik karena intensitas konflik lahan maupun tekanan aparat di lapangan.
Ia menyebut bahwa AMAN Tano Batak telah banyak menyampaikan aspirasi kepada berbagai instansi terkait bahkan Kemen-LHK RI yang saat itu masih dipimpin oleh Siti Nurbaya, namun tanggapan yang diterima sangat minim.
Jhontoni menyatakan bahwa jika pemerintah terus abai, sangat mungkin terjadi aksi susulan yang melibatkan massa jauh lebih besar.
Ia juga menyinggung bahwa perspektif Komnas HAM sebelumnya pada bulan Maret dalam kasus Sorbatua Siallagan yang pada intinya tidak menganggap adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT TPL, hal itu dianggap keliru dalam melihat akar persoalan.
Kemudian meskipun kini Komnas HAM kembali turun ke lapangan (dalam kasus Sihaporas) per bulan Oktober dengan membentuk Tim Pencari Fakta. Namun, ia menegaskan bahwa langkah Komnas HAM ini perlu diiringi dengan langkah tegas dari Gubsu.
Sementara itu, Lamsiang dari Horas Bangso Batak (HBB) menyoroti kegagalan Pemprov Sumut dalam menindaklanjuti permasalahan ini.
Ia menyoroti bahwa fakta-fakta pelanggaran di lapangan yang sudah diketahui oleh khalayak umum sudah sangat jelas dan tidak membutuhkan pembuktian berulang.
Menurutnya, dalam situasi konflik seperti ini, operasi perusahaan seharusnya dihentikan sementara hingga ada solusi yang adil, bukan justru membiarkan proses kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat terus terjadi bahkan seolah dibiarkan.
Lamsiang juga mengkritik tata kelola ruang yang buruk di wilayah konsesi TPL. Ia menegaskan bahwa setiap desa seharusnya memiliki peta wilayah yang jelas, namun proses penetapan kawasan hutan dan konsesi selama ini dipenuhi masalah.
Kemudian menurutnya penyelesaian konflik harus ditempuh melalui pendekatan perdata, misal ada kelompok masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan harusnya dimediasi, bukan dengan cara pidana seperti selama ini sehingga banyak merugikan masyarakat.
Di akhir pernyataan, seluruh elemen yang tergabung dalam Sekber Gerakan Oikumenis untuk Keadilan Ekologis di Sumut sepakat bahwa akar persoalan konflik ekologis, agraria, dan sosial di kawasan Danau Toba tidak akan dapat diselesaikan selama PT TPL masih beroperasi.
Pengakuan terhadap beberapa komunitas adat yang telah dilakukan pemerintah daerah (kabupaten) pun tidak menyelesaikan akar masalah jika operasi TPL tetap berjalan.
Sekber mendesak Bobby Nasution Gubernur Sumut untuk segera menerima aspirasi masyarakat dan bersikap tegas dengan mengeluarkan rekomendasi untuk menutup TPL.
Jika Gubsu tetap diam, Sekber bersama masyarakat akan menempuh langkah-langkah lanjutan yang konstitusional dan damai untuk memastikan keadilan ekologis dan hak masyarakat adat bisa segera dipulihkan. []