News Senin, 14 November 2022 | 15:11

Gubernur Lemhannas: Era Geo V Ditandai Perkembangan Teknologi dan Perluasan Spektrum Ancaman

Lihat Foto Gubernur Lemhannas: Era Geo V Ditandai Perkembangan Teknologi dan Perluasan Spektrum Ancaman Seminar nasional bertajuk 'Peran Indonesia dan G20 dalam Geopolitik Dunia dan Stabilitas Keamanan Asia Pasifik' yang dilangsungkan di Gedung Pancagatra Lemhanas, Senin, 14 November 2022. (Foto:Opsi/Fernandho Pasaribu)

Jakarta - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Andi Widjajanto menyebut Era Geo V ditandai dengan ketidakpastian dinamika geopolitik global.

Andi menuturkan, muncul aktor-aktor besar yang menjadi penantang eksistensi negara adidaya.

Demikian disampaikan saat Andi menjadi pembicara pada seminar nasional bertajuk `Peran Indonesia dan G20 dalam Geopolitik Dunia dan Stabilitas Keamanan Asia Pasifik` yang dilangsungkan Pusat Kajian dan Politik (Puspolkam) Indonesia di Gedung Pancagatra Lemhannas, Senin, 14 November 2022.

"Di era Geo V, konektivitas menjadi aspek yang berupaya dibangun untuk menyebarkan pengaruh di tingkat global. Era Geo V juga ditandai oleh perkembangan teknologi masif dan perluasan spektrum ancaman," kata Andi dalam paparannya.

Terkait proyeksi demografi, dia mengatakan bahwa populasi penduduk dunia diprediksi akan terus meningkat sampai 2050, tetapi dengan laju pertumbuhan yang menurun.

"Pertumbuhan tertinggi diproyeksikan terjadi di Afrika Sub-Sahara. Asia Selatan-Tengah diproyeksikan akan menjadi kontributor terbesar populasi penduduk global. Di sisi lain, Asia Timur-Tenggara serta Eropa-Amerika Utara diprediksi akan mengalami stagnasi bahkan penurunan populasi penduduk," ujarnya.

Sementara itu, populasi penduduk Indonesia diproyeksikan masih akan meningkat sampai 2045. "Tahun 2028-2030 diprediksi akan akan menjadi periode dengan rasio ketergantungan terendah. Periode ini menjadi peluang bonus demografi yang harus dimanfaatkan," tuturnya.

Berlanjut pada rivalitas konektivitas dan rantai pasok, dia menyebut persaingan konektivitas menjadi karakteristik utama dalam tarung kekuatan di era kini.

Di Asia, persaingan konektivitas tercermin melalui pembentukan Belt and Road Initiative (BRI) oleh Tiongkok dan Indo-Pacific Economic Framework oleh AS.

"Persaingan serupa turut tergambarkan melalui rantai pasok energi berbasis fosil dan energi bersih. Merujuk pada bagan di atas, untuk komoditas minyak dan gas, AS mendominasi rantai pasok pada sisi hulu, pengilangan, dan konsumsi. Sementara itu, AS hanya menjadi pemain minor pada rantai pasok teknologi bersih, ketika Tiongkok menjadi aktor dominan," katanya.

Lebih lanjut, terkait rivalitas ekonomi dan teknologi, rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok menjadi karakter utama terhadap dinamika geopolitik terkini. Sektor ekonomi dan teknologi menjadi arena pertempuran antara dua negara tersebut.

"Saat ini, Produk Domestik Bruto (PDB) Amerika Serikat masih menjadi nomor satu di dunia. Tiongkok mengejar di peringkat kedua dengan laju pertumbuhan yang cukup masif. Di sektor teknologi Tiongkok cenderung unggul yang tercermin dari kapasitas teknologi 5G dan tren penguasaan produksi semikonduktor," ucap Andi.

Tak hanya itu, ia juga turut membahas tentang ancaman konflik hegemonik. Berdasarkan perkembangan interaksi antar negara besar terkini, terdapat enam titik ketegangan yang berpotensi mengeskalasi menjadi konflik hegemonik.

"Laut Tiongkok Selatan dan Taiwan menjadi titik ketegangan yang paling dekat Indonesia. Indonesia masuk dalam jangkauan kapasitas militer AS dan Tiongkok di dua titik ketegangan tersebut," katanya.

Kemudian, menyoal volatilitas ekonomi, kondisi stagflasi di beberapa negara maju telah berubah menjadi ancaman resesi ekonomi global.

Kenaikan harga energi dan pangan akibat konflik Rusia-Ukraina juga mulai berdampak kepada peningkatan inflasi domestik.

Lebih lanjut, kebijakan pengetatan moneter di Amerika Serikat akan berdampak kepada penurunan konsumsi dan investasi.

Studi IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami perlambatan pada tahun 2023 dan rata-rata pertumbuhan sebesar 5,2 persen hingga tahun 2027.

Kebijakan bauran antara fiskal dan moneter menjadi kunci untuk menjaga stabilitas dari gejolak makroekonomi global. Ruang fiskal masih cenderung tersedia meskipun terjadi lonjakan utang yang signifikan pada tahun 2020.

"Di sisi lain, volatilitas nilai tukar Rupiah akan mempengaruhi inflasi dan pertumbuhan ekonomi ke depan," ucap Andi Widjajanto. [] 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya