Pilihan Rabu, 27 Juli 2022 | 17:07

Hitung-hitungan Pakar Hukum Pidana Soal Potensi Konflik Bila RUU KUHP Disahkan

Lihat Foto Hitung-hitungan Pakar Hukum Pidana Soal Potensi Konflik Bila RUU KUHP Disahkan Ilustrasi RKUHP. (Foto: Ist)

Jakarta - RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terus berproses di DPR dan tujuan akhir dari pembuatan rancangan tentunya disahkan menjadi undang-undang.

Saat ini dialektika terhadap poin-poin yang ada dalam rancangan undang-undang tersebut masih berlangsung dan beberapa poin dalam rancangan undang-undang juga masih mendapatkan sorotan publik.

Sorotan tersebut tentu menjadi catatan yang perlu diperhatikan oleh pembuat undang-undang sebelum rancangan itu diundangkan. 

Pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof Suparji Ahmad memberikan pandangannya terhadap hitung-hitungan potensi konflik bila RUU KUHP disahkan.

Secara umum terdapat dua area potensi konflik dari suatu RUU. Pertama adalah, potensial konflik rancangan undang-undang dengan undang-undang sektoral lainnya.

Kedua yakni, potensi konflik pada area yang berkaitan dengan publik yang nantinya akan terikat oleh undang-undang ketika diterapkan.

Soal area pertama, para penyusun RUU KUHP pastinya sudah memperhitungkan dan mengidentifikasi potensi konflik yang akan terjadi, yaitu antara KUHP dengan undang-undang sektoral lain.

Karena itu nantinya, UU KUHP yang diundangkan tentunya akan ada serapan asas hukum misalnya aturan yang baru akan mengesampingkan aturan yang lama. Hal itu menjadi bagian dari cara mengatasi konflik.

Konflik antar undang-undang juga akan diidentifikasi dari adanya irisan antara undang-undang sektoral dengan UU KUHP, misalnya yang mengatur tentang soal hak asasi manusia atau soal korupsi.

Namun hal itu nanti akan ada batasan-batasan yang jelas, mana yang harus diterapkan mana yang harus dikesampingkan pada saat harmonisasi antar undang-undang.

Unsur-unsur kejelasan, ketegasan, kepastian dalam UU KUHP nantinya harus terpenuhi pada prinsip hukum pidananya, yang dibuat secara tegas, jelas, tertulis dan tidak berlaku surut.

Kemudian pada area kedua yang berkaitan dengan publik, saat ini masih ada sekitar 14 poin yang menjadi sorotan, di antaranya menurut dia, seperti soal nilai-nilai kepastian hukum yang dikembangkan dalam mengakomodir nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.

Pada poin itu, terdapat potensi konflik antara legalitas kepastian hukum dan nilai sosiologis yang dapat berkembang di masyarakat. Hal itu harus ada jalan tengahnya, karena pada tatanan tertentu masyarakat, sebuah kejadian bisa menjadi masalah hukum, namun di kearifan lokal lainnya ternyata bukanlah sebuah masalah.

Yang kedua, potensi seperti nilai ketercelaan. Ia memberikan salah satu contoh tindakan pelanggaran hukum yakni mencuri dalam artian harfiah adalah mengambil barang orang lain.

Namun pada tatanan tertentu di level-level masyarakat mengambil barang orang itu bisa saja ternyata sebagai bantuan bukan masalah hukum. Misalnya, budaya kearifan ngasak atau mengambil sisa bekas panen, namun kalau diartikan secara harfiah bisa menjadi tindakan pencurian.

Kemudian, poin sorotan lainnya soal kohabitasi, kumpul kebo, atau tercatatnya perkawinan. Poin selanjutnya mengenai pencemaran nama baik presiden.

Poin tersebut juga menjadi masalah yang menarik menurut dia, seperti apakah presiden punya harkat dan martabat, sementara ada yang berpandangan tidak punya. Tapi ada pula pandangan presiden luar negeri saja dihormati mengapa presiden sendiri tidak dihormati.

Lalu, menurut dia, ada pula yang mengatakan mengatakan kalau menganggap pencemaran nama baik, pakai pencemaran nama baik sebagai pribadi saja bukan jabatan sebagai presiden. Perdebatan poin-poin yang menjadi sorotan masih berputar pada itu-itu saja sampai saat ini, pihak terkait harus mencari titik temu, dan harus dibereskan.

Masyarakat, pengamat atau pemerhati atau yang punya kepedulian terhadap RUU KUHP diharapkan menyampaikan kepada DPR dan pemerintah kalau ada potensi konflik pada rancangan undang-undang.

Sebaliknya, pembuat, penyusun undang-undang harus objektif, tidak perlu defensif terharap masukan dan kritikan, dalam artian jika memang ada potensi yang ditengarai, maka harus secara objektif melakukan perbaikan.

Namun kedua belah pihak baik yang menyampaikan kritik, masukan, dan saran perbaikan maupun pembuat undang-undang harus memiliki kesamaan sudut pandang, memiliki standar uji, dan tolak ukur yang jelas.

Dalam merampungkan rancangan undang-undang itu tolak ukur yang digunakan jangan hanya sebatas teori saja, namun juga hal penting lain yakni konstitusi, ideologi, nilai-nilai yang ada di masyarakat serta menemukan kebenaran melalui nilai-nilai di Pancasila. Dengan upaya itu, area potensi konflik kedua juga bisa ditekan dan diminimalkan.

Dia mengingatkan Indonesia negara hukum demokratis yang mengakomodir nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, tapi tidak boleh terjadi pemaksaan kehendak, tidak boleh memonopoli kebenaran oleh siapa pun.

"Jadi, tidak boleh ada yang memonopoli kebenaran mengklaim dirinya sebagai kebenaran dengan melakukan cara pembenaran-pembenaran," ucapnya.

Satu frekuensi

Pengajar politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin, menjelaskan pembuat undang-undang dan masyarakat harus satu frekuensi agar dapat menghasilkan undang-undang yang minim konflik.

Kompromi menjadi penting antara pembuat undang-undang dengan rakyat yang notabene nantinya akan terikat oleh Undang-undang KUHP yang disahkan. Jika masih ada ganjalan di masyarakat, maka sepatutnya segera ditemukan langkah solusinya sebelum KUHP diundangkan.

Menurut dia jika ganjalan di masyarakat tidak diselesaikan dan undang-undang tetap disahkan, maka akan ada dua opsi yakni bisa saja terjadi sebagai konflik yakni gugatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang tersebut, dan yang kedua aksi turun ke jalan melampiaskan ketidakpuasan.

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing mengatakan ada tiga komunikasi politik yang harus terpenuhi dalam membuat undang-undang, sehingga undang-undang yang nantinya tercipta dapat berjalan baik dan minim konflik.

Komunikasi politik tahap pertama yakni mendengar, menampung dan menganalisis poin-poin yang dibutuhkan masyarakat untuk diatur dalam undang-undang.

Kemudian, komunikasi tahap kedua yaitu dengan melibatkan masyarakat dalam merumuskan undang-undang tersebut. Dan yang ketiga, membangun komunikasi yang bertujuan agar masyarakat secara sukarela, pro-aktif serta merasa memiliki undang-undang.

"Setiap undang-undang, ide, program atau apa pun itu harus diawali dengan komunikasi, kemudian dilanjutkan dengan komunikasi. Dan, seterusnya diteruskan dengan komunikasi, itulah sosialisasi undang-undang," kata dia.

Dengan membangun komunikasi yang baik, pembuat undang-undang dengan masyarakat akan satu frekuensi dan menemukan sudut pandang yang sama dalam mewujudkan UU KUHP yang sesuai dengan harapan bersama.[] (ANTARA)

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya