News Senin, 04 April 2022 | 17:04

ICJR: Hukuman Mati dalam Kekerasan Seksual Bukan Solusi bagi Korban

Lihat Foto ICJR: Hukuman Mati dalam Kekerasan Seksual Bukan Solusi bagi Korban Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Genoveva Alicia. (Foto: Twitter)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Pengadilan Tinggi (PT) Bandung menerima banding yang diajukan jaksa dalam kasus Herry Wirawan, pelaku perkosaan terhadap 13 santriwati.

Terhadap Herry Wirawan hakim menjatuhkan pidana mati sebagaimana dituntut oleh jaksa penuntut umum di pengadilan tingkat pertama. 

PT Bandung juga mengubah tanggung jawab kewajiban pembayaran restitusi terhadap korban kepada pelaku, setelah sebelumnya PN Bandung memberikan kewajiban tersebut kepada pemerintah. 

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengapresiasi putusan PT Bandung terkait dengan restitusi bagi korban. Namun ICJR menyayangkan dijatuhkannya hukuman mati kepada pelaku. 

"Putusan ini akan menjadi preseden buruk bagi proses pencarian keadilan korban kekerasan seksual. Karena fokus negara justru diberikan kepada pembalasan kepada pelaku, alih-alih korban yang seharusnya dibantu pemulihannya," kata Peneliti ICJR Genoveva Alicia dalam keterangan tertulisnya, Senin, 4 April 2022.

Kata dia, hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual, justru akan menggeser fokus negara kepada hal yang tidak lebih penting dari korban. 

"UN High Commissioner for Human Rights, Michelle Bachelet, juga mengamini hal ini. Bachelet menyampaikan bahwa meskipun pelaku perkosaan dan kekerasan seksual lain harus dimintai tanggung jawab, namun hukuman mati dan penyiksaan bukanlah solusinya. Tidak ada satupun bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa pidana mati dapat menyebabkan efek jera, termasuk di dalam kasus perkosaan," beber Genoveva.

Baca juga: 

Herry Wirawan, Pelaku Rudapaksa Belasan Santriwati Lolos dari Hukuman Mati

"Masalah dari kasus-kasus perkosaan yang terjadi di seluruh belahan dunia, menurut Bachelet, disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap keadilan korban, dan menerapkan pidana mati kepada pelaku, tidak akan menyelesaikan masalah ini," sambung dia mengutip pernyataan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet.

Pidana mati kata Genoveva, diterapkan justru ketika negara gagal hadir untuk korban. Ini adalah bentuk gimmick yang diberikan sebagai kompensasi, karena negara gagal hadir dan melindungi korban, sebagaimana seharusnya dilakukan. 

Dia menyebut, sebagai konsekuensi dari hal ini, negara kemudian mencoba membuktikan diri untuk terlihat berpihak kepada korban, dengan menjatuhkan pidana-pidana yang draconian seperti pidana mati. 

Hal ini tegas Genoveva, tentu saja bukan yang diharapkan terjadi di Indonesia. Negara harusnya dapat hadir setiap waktu, bukan hanya pada waktu-waktu tertentu hanya untuk `mengambil hati` korban dan warga negaranya. 

Dia lantas mengingatkan, pidana mati terhadap pelaku perkosaan telah ditentang oleh banyak kelompok perempuan di dunia, dan disebut sebagai solusi yang sekadar populis terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan. 

Baca juga: 

Herry Wirawan, Pemerkosa 13 Santriwati Akhirnya Divonis Hukuman Mati

Penerapan pidana mati terhadap pelaku perkosaan ini juga dapat berdampak pada semakin menurunnya angka pelaporan. Karena selama ini, korban kekerasan seksual didominasi oleh orang-orang terdekat korban. 

"Dengan adanya ancaman pidana mati terhadap pelaku, maka keengganan korban untuk melapor akan semakin tinggi, karena takut orang terdekatnya meskipun telah melukainya akan dihukum mati," katanya seraya mengutip Bansari Kamdar, 2021 dan Jahnavi Sen, 2021. 

Tidak hanya itu, lanjut Genoveva, Kamdar dan Sen juga menyampaikan bahwa penerapan pidana mati dalam kasus perkosaan dapat meningkatkan angka pembunuhan terhadap korban juga dapat meningkat.

Karena untuk membungkam korban, pembunuhan justru akan menjadi opsi logis yang akan diambil pelaku. 

"Argumen-argumen ini, banyak digunakan oleh aktivis perempuan di India, the Maldives, Pakistan, Bangladesh, dan Nepal, merespons penggunaan pidana mati untuk kasus perkosaan," terangnya. 

Lebih jauh dalam putusannya, hakim PT Bandung menyatakan bahwa restitusi dijatuhkan sebagai upaya memberikan efek jera kepada pelaku. 

Logika berpikir hakim ini menurut Genoveva, serupa dengan bagaimana restitusi dikonstruksikan di dalam perundang-undangan di Indonesia.

Dibuktikan dengan masih dijatuhkannya pidana pengganti jika restitusi tidak dapat dibayarkan oleh pelaku. 

Baca juga: Santriwati Korban Pencabulan Herry Wirawan Berharap Pelaku Dihukum Mati

Padahal, restitusi seharusnya diposisikan di dalam diskursus hak korban, bukan penghukuman terhadap pelaku. 

Jika mengikuti logika berpikir ini, maka hakim kata dia, akan menghadapi pembatasan di dalam Pasal 67 KUHP, yang melarang penjatuhan pidana tambahan lain kepada terdakwa yang dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup. 

Hal inilah yang di dalam putusan lalu menjadi masalah bagi hakim di pengadilan tingkat pertama, bahwa ketika hukuman yang maksimal sudah diberikan kepada pelaku, maka hukuman lain tidak dapat dijatuhkan. 

Maka dari itu kata Genoveva lagi, untuk mengatasi kekacauan ini, seharusnya hukuman mati tidak boleh dijatuhkan di dalam kasus apapun, khususnya kekerasan seksual. Di mana korban membutuhkan restitusi untuk mendukung proses pemulihannya. 

ICJR kata Genoveva, memahami bahwa kasus ini menyulut kemarahan yang besar bagi publik. Namun demikian, kemarahan publik bukanlah hal yang seharusnya menjadi fokus utama di dalam proses pemberian keadilan bagi korban. 

"Fokus utama kita seharusnya diberikan kepada korban, dan bukan kepada pelaku, dan hal ini yang seharusnya menjadi perhatian aparat penegak hukum dan juga hakim di dalam kasus-kasus kekerasan seksual. 

Pengadilan yang saat ini sudah memiliki pedoman mengadili perkara perempuan, juga harus mulai berpikir progresif dengan memikirkan kebutuhan korban dan tidak hanya terjebak pada kemarahan pribadi yang tidak akan menolong korban sama sekali," tandasnya. []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya