News Rabu, 25 Mei 2022 | 16:05

ICJR Minta BNN Bongkar Jaringan Hakim di Rangkasbitung yang Gunakan Narkotika

Lihat Foto ICJR Minta BNN Bongkar Jaringan Hakim di Rangkasbitung yang Gunakan Narkotika Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Banten menetapkan dua hakim Pengadilan Negeri ( PN) Rangkasbitung, Kabupaten Lebak berinisial YR (39) dan DA (39) tersangka penyalahgunaan narkoba jenis sabu- sabu seberat 20.634 gram. foto: Antara/Mansur.
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak Badan Narkotika Nasional (BNN) membongkar jaringan pada hakim yang terlibat penggunaan narkotika. 

Hal itu menyusul tindakan BNNP Banten pada 20 Mei 2022 lalu melakukan penangkapan terhadap dua hakim dan ASN yang bertugas di Pengadilan Negeri Rangkasbitung. 

Penangkapan itu sendiri merupakan hasil dari penggunaan metode penyidikan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery) terhadap pengiriman paket yang diduga merupakan narkotika. 

Terungkap dua hakim dan ASN yang ditangkap menggunakan narkotika untuk kepentingan pribadi. 

Peneliti ICJR Lovina dalam keterangan tertulis mengatakan, UU Narkotika mengenal beberapa teknik penyidikan yamg hanya diatur di dalam  undang-undang tersebut.

Salah satunya adalah teknik penyidikan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery). Dimuat dalam Pasal 75 UU Narkotika. 

"Dalam UU Narkotika, teknik ini diatur untuk membongkar jaringan narkotika, sehingga ditujukan untuk peredaran gelap, bukan semata-mata pada pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi," jelas Lovina, Rabu, 25 Mei 2022.

Pertimbangan ini juga kata dia, terlihat dalam perspektif internasional, bahwa perluasan teknik-teknik investigasi non-konvensional seperti penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery) ditujukan untuk membongkar jaringan atau sindikat peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dan keputusan dalam penggunaan teknik penyerahan yang diawasi dilakukan secara kasus demi kasus. 

Sayangnya teknik yang bertujuan untuk menjerat pengedar, produsen atau bandar besar narkotika dalam jaringan yang sulit dibongkar ini seringkali digunakan untuk menjerat pengguna atau pecandu narkotika. 

Lovina menyebut, penggunaan teknik ini untuk menjerat pengguna narkotika dapat berpotensi pada kesewenang-wenangan dan tidak sesuai dengan peruntukan pengaturannya.

Diakuinya, UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sama sekali tidak mengatur bagaimana controlled delivery ini dilaksanakan dalam konteks hukum acara. 

Undang-undang itu sebatas menyatakan bahwa pelaksanaan kedua kewenangan ini dilakukan oleh penyidik atas perintah tertulis dari pimpinan. 

Situasi ini menyebabkan pelaksanaan kewenangan itu tergantung pada inisiatif-inisiatif penegak hukum pada praktik, yang tentu saja berkonsekuensi pada ketiadaan standar yang dapat diacu. 

Baca juga:

Gawat, 2 Hakim PN Rangkasbitung Jadi Penyalahguna 20 Kg Sabu

Terutama bagaimana apabila terdapat pelanggaran hak seseorang dan membutuhkan pengujian terhadap tindakan-tindakan yang sudah dilakukan oleh penyidik.

Dengan demikian, sulit sekali untuk menguji mana tindakan penyerahan yang diawasi yang sah dan tidak sah. 

Begitu juga persoalan menguji perbedaan pembelian terselubung dengan penyerahan yang diawasi dengan tindakan penjebakan yang dilarang oleh hukum acara pidana dan putusan pengadilan. 

Teknik investigasi ini tidak memiliki mekanisme pengujian terhadap pelaksanaannya, terutama terkait alasan dan bukti yang cukup untuk menggunakan teknik investigasi ini dan dalam titik ekstrim, hal ini kemudian berdampak pada besarnya peluang penyalahgunaan kekuasaan.

Sekalipun pengaturannya yang minim, ICJR kata dia, memandang bahwa aparat penegak hukum dalam melakukan teknik penyelidikan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery), seharusnya fokus kepada jaringan ataupun sindikat narkotika yang lebih bersifat masif, bukan dilakukan kepada pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi sekalipun dia adalah pejabat negara. 

"ICJR mengecam penggunaan teknik controlled delivery yang semata-mata digunakan untuk berfokus dan menyasar pelaku. Kami meminta agar BNN melakukan pengawasan dan memastikan pembongkarangan jaringan sampai dengan pada pucuk jaringan," tegasnya.

Ke depan, kata Lovina, ICJR juga meminta agar mekanisme controlled delivery dan undercover buy (pembelian terselubung) diatur lebih tegas dan rinci dalam UU Narkotika dan khususnya KUHAP. 

Penggunaan metode-metode ini berpotensi sangat besar disalahgunakan dan tidak pada tempatnya, sehingga perlu pengaturan yang lebih kuat.

"Kami juga meminta agar BNNP seharusnya fokus kepada tindakan pendekatan kesehatan melalui pemberian treatment kepada pengguna narkotika. Pemberian sanksi pidana kepada pengguna narkotika tidak membawa dampak menurunnya angka perdagangan gelap narkotika, malah justru menimbulkan permasalahan baru," tukasnya. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya