Medan - Penenun Ulos Batak menyampaikan curahan hatinya ke Rose Lumbantoruan, yang dikenal sebagai seorang pemerhati budaya dan juga penulis.
Curhatan para penenun atau partonun itu kepada Rose, bahwa Ulos hasil karya mereka tidak laku di tengah harga benang mahal dan langka.
Rose sampai menerima curhatan beberapa penenun, hingga akhirnya dia tumpahkan kesedihan itu di akun Facebooknya, Kamis, 30 Juni 2022.
"Pagi ini saya merasa sedih sekali. Mau nangis, tapi gak bisa. Jadinya hanya sesak di dada," tulis Rose di awal status Facebooknya.
Dia menyebutkan, Kamis pagi ada partonun yang mengeluh sembari menawarkan hasil tenunnya karena sulitnya menjual hasil tenun mereka.
Menurut Rose, yang menawarkan itu adalah orang ke-4, yang mengeluh betapa sedihnya kehidupan partonun sekarang.
"Benang langka dan mahal. Tapi sebaliknya, hasil tenunan mereka gak laku, padahal kebutuhan hidup banyak, anak-anak harus sekolah, dapur harus tetap diasapi," tulis Rose, penulis cerpen Ulos Sorpi.
"Di panggung adat Batak yang sudah mulai dihiasi semaraknya `tonun Batak` tapi kok keadaan di partonun malah kontra? Kok tenunan mereka malah gak laku. Kok bisa? Ya bisa!" kata Rose seakan menegaskan kondisi partonun tersebut.
Dia berujar, panggung adat Batak semarak dengan `tonun Batak`. Tapi yang partonun Batak malah kelaparan.
Itu tak lain karena `tenun Batak` yang semarak di panggung Batak itu kebanyakan bukan hasil karya penenun Batak.
"Jadi itu buatan siapa? Silakan tanya penjualnya ibu-ibu. Yang mereka jual itu tenunan siapa? Apakah `tonun Batak` itu hasil tenunan orang Batak atau bukan?" imbuh Rose.
"Tapi, barangkali kita-saya dan ibu-ibu Batak cantik lainnya-memang tak peduli. Apakah tonun Batak cetar yang kita pakai itu hasil tenun orang Batak atau bukan, apakah `tonun Batak` itu menghidupi orang Batak atau bukan. Aaa.....sudahlah," tandas Rose, menyiratkan kekecewaan.
Rose Lumbantoruan saat martonun. (Foto: Facebook Rose Lumbantoruan)
Rose dalam curhatan itu juga menautkan tulisannya 11 Desember 2021. Isinya begini:
Cinta Budaya Yang Menghidupi
"Batik yang diakui sebagai Intangible Heritage adalah batik yg diproses dengan tulis dan cap. Sedangkan kain yang diproduksi dengan proses printing di pabrik tak diakui sebagai batik, meskipun motifnya adalah motif batik.
Ulos, yang diakui sebagai Intangible Heritage juga adalah ulos hasil tenun, bukan hasil produksi mesin tekstil. Meski begitu, hasil pabrik pun tetaplah disebut ulos (dari pada saya diamuk dan dibilang pantang sobilak oleh sebagian orang batak). Sebab ulos itu sendiri, merujuk pada fungsi filosofis.
Meski begitu, saya berkali-kali mengatakan --dan akan terus mengatakan-- gunakan dan kenakanlah ulos hasil tenun. Dengan demikian, cintamu pada budaya batak, pada ulos, akan menjadi cinta yang menghidupi; menafkahi para penenun. Dengan membeli selembar ulos tenun, engkau sudah menghidupi sebuah keluarga penenun.
Saya senang, karena beberapa orang teman mulai konsisten memberikan ulos tenun pada acara-acara adat keluarga terdekat. Ada Namboru di Bandung yg selalu bertanya ulos apa yg sebaiknya diberikan kepada keluarga borunya mulai dari acara mambosuri, mamboan aek ni unte hingga acara tardidi. Rasa salut dan hormatku untukmu ya Namboru. Juga pada beberapa teman lain yg juga mulai konsisten memberikan ulos tenun ini pada beberapa acara adat. Salut untuk kalian.
Pada acara-acara adat keluarga terdekat, penerima ulos tenun tentu akan sangat merasa istimewa saat ulos yg diterima adalah ulos tenun. Ulos itu akan disimpan dengan perasaan hangat oleh cinta kasih. Dan pada saat anak-anaknya mulai tumbuh besar, saat mereka ada acara yg harus mengenakan ulos (disekolah dan di gereja), orang tuanya akan bisa berkata: "Ini adalah ulosmu. Milikmu yg diberikan oleh Ompung saat kamu lahir dan tardidi, sebagai simbol kasih sayang ompung padamu..." Sang anak pastilah sangat senang, sekaligus mencintai ulos itu, dan kelak dia juga akan mencintai budaya batak seiring dengan waktu.
Beberapa waktu yg lalu, bapak yg disampingku ini mengatakan bahwa pada sebuah acara adat dimana mereka sebagai horong hulahula, ulos digantikan dengan uang, supaya prokes katanya. Jadi gak ada acara pemberian ulos dari panoropi. Wah, apa bedanya itu dengan tumpak? Saya jadi teringat gagasan saya beberapa tahun lalu: Bagaimana bila semua panoropi pada horong tulang dan hulahula hanya memberikan satu lembar ulos tonun (yg dibeli dengan urunan) saja tiap horong? Jadi tak harus semua yg hadir memberikan ulos hasil mesin (seharga 25.000-50.000). Cukup satu lembar, diluar tulang atau hulahula kandung. Simple, hemat dan berharga. Sebab ulos hasil mesin itu, seringnya akan dijual kembali ke penampung ulos dengan harga 5.000-10.000. Tapi sepertinya gagasan ini masih akan sebatas gagasan saja. Sebab banyak pihak merasa, ulos tonun atau bukan itu gak penting, yg penting maknanya, katanya hehehe....."
Amatan Opsi, banyak kegiatan adat orang Batak menggunakan ulos hasil mesin dan bukan dari karya asli partonun.
Salah satu penjual ulos hasil mesin berada di Jalan Sisingamangaraja, Kelurahan Kahean, Kecamatan Siantar Utara, Kota Pematangsiantar, Sumatra Utara.
Usaha ulos milik marga Silalahi tersebut diketahui memproduksi ulos Batak secara massal menggunakan mesin.
Produksi ulos itu diketahui dijual bukan hanya di Kota Pematangsiantar, tetapi di sejumlah kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Medan, Pekanbaru, Batam, dll.[]