Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Jimly Asshiddiqie menilai amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak masuk akal jika dilakukan untuk kepentingan mengubah lamanya masa jabatan presiden.
Sebab, perubahan UUD 1945 idealnya diperuntukkan bagi kepentingan besar dan jangka panjang. Semisal, amendemen UUD untuk menghidupkan kembali garis-garis besar haluan negara (GBHN).
"Itu saja enggak mungkin sekarang ini. Apalagi untuk urusan kepentingan jangka pendek atau memperpanjang kepentingan sendiri. Tidak masuk akal dan tidak mungkin. Kalau dipaksakan bisa ribut. Karena itu berarti pengkhianatan kepada negara," ujar Jimly dikutip dari Kompas.com, Kamis, 10 Maret 2022.
Baca juga: Sindir Jokowi, Jansen: Pak Harto Diktator Tapi Ndak Pernah Tunda Pemilu
Selanjutnya, apabila dengan segala cara amendemen UUD 1945 dilakukan, Jimly mengingatkan ada potensi impeachment atau pemakzulan atas presiden.
Jimly pun memberikan pandangan jika presiden tetap mengeluarkan dekrit. Menurut dia, kondisi seperti itu pernah terjadi saat Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjabat.
"Misalnya yang disampaikan oleh Yusril (Yusril Ihza Mahendra), yakni boleh bikin dekrit. Kan Gus Dur pernah bikin dekrit. Dia diberhentikan gara-gara itu. Sebab, oleh Mahkamah Agung (MA), dinilai itu melanggar hukum," kata pakar hukum Tata Negara itu.
Baca juga: PA 212: Pemaksaan Jokowi 3 Periode Bisa Perang Saudara
"Hukum itu akhirnya di tangan hakim. Jadi kalau ini nanti dibawa ke pengadilan baik ke MK maupun MA itu pemaksaan perubahan konstitusi, apalagi misalnya memaksakan dengan dekrit artinya melanggar sumpah, melanggar konstitusi," ucap Jimly menegaskan. []