News Kamis, 18 Agustus 2022 | 21:08

Jokowi Didesak Batalkan Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Lihat Foto Jokowi Didesak Batalkan Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat HUT RI ke-77. (foto: Opsi/Morteza/Youtube Sekretariat Presiden).
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Dalam bagian pidato kenegaraan di sidang tahunan MPR RI pada Selasa, 16 Agustus 2022, Presiden Jokowi menyebut Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu telah ditandatanganinya.

Menurut Jokowi, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu terus menjadi perhatian serius pemerintah. RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sedang dalam proses pembahasan dan tindak lanjut atas temuan Komnas HAM masih terus berjalan. 

Merespons pidato Jokowi tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil menilai petikan pidato kenegaraan Presiden Jokowi tersebut bentuk klaim yang keliru dan bertolak belakang dengan realita kondisi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia. 

"Setelah hampir delapan tahun era Pemerintahan Presiden Jokowi, kondisi penyelesaian beban bangsa Indonesia ini justru mengalami kemunduran," kata Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam keterangan pers diterima Opsi, Rabu, 18 Agustus 2022.

Disebutnya, belum dituntaskannya pelanggaran HAM berat, pilihan mengangkat para penjahat HAM menjadi pejabat, hingga kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai ketentuan hukum dan berperspektif terhadap korban dan publik bisa dijadikan bukti-bukti yang mengingkari janji Presiden Jokowi sendiri. 

Kemunduran ini juga membuktikan bahwa Jokowi dinilai memang tidak memiliki political will untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu.

Pernyataan `menjadi perhatian serius` dalam pidato tersebut kata Isnur, dapat dinilai sebagai kepura-puraan presiden semata. Karena dalam banyak kesempatan, pemerintahan yang dipimpin Jokowi justru menunjukkan ketidakseriusan. 

Dia membeber, hanya ada satu pengadilan HAM yang baru akan digelar sejak Presiden menjabat di tahun 2014. 

Dari proses pengadilan HAM atas peristiwa Paniai 2014 pun, kontroversi seperti hanya ada satu terdakwa, penentuan lokasi pengadilan di Makassar dan bukan di Papua serta minimnya pelibatan korban menjadi catatan buruk. 

Pengadilan HAM yang akan segera berlangsung diprediksi gagal menghadirkan keadilan bagi publik dan mengulang tiga proses sebelumnya yang tidak menghukum satu pun pelaku. 

Dia kemudian mengingatkan bagaimana Jaksa Agung ST Burhanudin malah melawan keluarga korban tragedi Semanggi I dan II di Pengadilan Tata Usaha Negara, padahal telah keliru menyatakan bahwa kasus tersebut bukanlah pelanggaran HAM berat.

Lebih jauh kata dia, pernyataan Presiden Jokowi mengenai proses pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi perlu ditelisik lebih jauh. 

Sejauh ini prosesnya tidak melibatkan partisipasi publik utamanya para penyintas dan keluarga korban. 

Baca juga:

Komitmen Jokowi Tuntaskan Kasus Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Tak Pernah Surut

"Tidak ada pembahasan lebih lanjut mengenai korelasi antara fungsi KKR dan peranannya dalam proses hukum di pengadilan HAM," kata Isnur.

Pengalaman dibatalkannya UU 27/2004 tentang KKR oleh Mahkamah Konstitusi tidak juga membuat pembahasan mengenai bentuk KKR yang sesuai dengan ketentuan hukum dan HAM secara internasional untuk kepentingan korban dan publik tak membuat prosesnya bisa diakses oleh publik.

Perihal Keppres Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu juga melahirkan sejumlah polemik yang berpotensi membuat impunitas semakin menguat di Indonesia. 

Dimulai dengan proses yang tertutup hingga dokumen yang tidak kunjung dapat diakses, menghadirkan tanda tanya soal latar belakang, motif, dan komposisi individu yang dipilih presiden untuk mengisi tim ini. 

Baca juga:

Presiden Jokowi Terkekeh, Prabowo Joget-joget saat Farel Nyanyikan Ojo Dibandingke

"Kami melihat upaya untuk memisahkan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu berbasis metode yudisial dan non-yudisial hanya sebagai kamuflase dari lemahnya negara untuk menindak para pelaku kejahatan kemanusiaan dan luar biasa di Indonesia ini," katanya. 

"Kami belum melihat rujukan regulasi atau standar norma pengaturan yang presiden dan jajarannya pilih dalam menyusun regulasi ini," imbuh dia.

Mengingat bahwa tidak ada dikotomi terminologi yudisial dan non-yudisial di dua regulasi utama soal penanganan pelanggaran HAM berat, yakni UU 39/1999 tentang HAM dan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Keppres tersebut secara tegas memperlihatkan bahwa pemerintah mengutamakan mekanisme non-yudisial dalam penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu, dijadikan jalan pintas untuk seolah dianggap sudah menuntaskan pelanggaran HAM berat. 

Padahal ini kata Isnur, hanya cara yang dipilih pemerintah melayani para pelanggar HAM berat masa lalu agar terhindar dari mekanisme yudisial. 

Ini tidak dapat dipungkiri terjadi akibat adanya konflik kepentingan di dalam tubuh pemerintahan hari ini. 

Perihal efektivitas yang didasari oleh tugas dan fungsi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu ini juga patut dipertanyakan. 

Keluaran yang diharapkan muncul seperti analisis pelanggaran HAM hingga pemulihan sejatinya sudah diatur dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. 

Jika regulasi dan kelembagaan di level UU saja tidak berhasil karena tidak difungsikan secara maksimal, apalagi oleh tim yang dibentuk tanpa partisipasi publik yang memadai ini.

Gagasan mengenai tim yang dibuat seolah menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap korban padahal ingin mengaburkan penuntasan pelanggaran HAM berat ini bukanlah ide pertama Presiden Joko Widodo dan jajaran. 

Tercatat setidaknya ada inisiatif seperti Komite Rekonsiliasi dan Komite Pengungkapan Kebenaran di 2015, Dewan Kerukunan Nasional di 2016 hingga Tim Gabungan Terpadu tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di 2018. 

Wacana seperti Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Pelanggaran HAM Berat (UKP-PPHB) juga menguap layaknya konsep-konsep sebelumnya karena memang dibuat dengan intensi memutihkan kesalahan para pelaku bukan untuk memulihkan para korban pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Oleh karena itu kata Isnur, koalisi yang terdiri dari beberapa elemen masyarakat meminta Presiden RI membatalkan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Koalisi juga meminta Presiden Joko Widodo memerintahkan Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) dengan melakukan penyidikan secara transparan dan bertanggung jawab terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.

"DPR segera merekomendasikan dan/atau mengusulkan pembentukan pengadilan HAM Ad-hoc atas peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu serta membahas RUU KKR dan membuka seluas-luasnya partisipasi publik secara bermakna khususnya penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM berat sesuai dengan mandat putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No.006/PUU-IV/2006," tandasnya. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya