Jakarta - Tingkat garis kemiskinan di Indonesia pada September 2022 tercatat sebesar 9,57 persen atau sebanyak 26,36 juta.
Tingkat kemiskinan ini naik tipis dari Maret 2022 sebesar 9,54 persen tetapi lebih rendah dibanding tingkat kemiskinan pada September 2021 sebesar 9,71 persen.
Hal ini menjadi sorotan Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati di Jakarta, Kamis 2 Februari 2023.
Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini menegaskan bahwa kemiskinan mendapatkan perhatian secara fundamental dari negara.
Pada pasal 34 Ayat 1-4 UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi:
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3)Negara bertanggung-jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Dalam UU no.13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, juga disebutkan bahwa:
(1)Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.
(2)Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.
Wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini juga menilai bahwa pengurangan angka kemiskinan cenderung stagnan.
Hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin pada September 2022 yaitu sebesar 26,36 juta orang atau setara dengan 9,57 persen.
Ia menuturkan, angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 0,20 juta orang atau 0,03 persen terhadap Maret 2022.
Jika dibandingkan dengan September tahun 2017, jumlah penduduk miskin sebesar 26,58 juta orang setara dengan 10,12 persen.
"Artinya perubahannya hanya sekitar 220 ribu saja, angkanya tidak terlalu signifikan," ujarnya.
Lebih lanjut, dia juga menyoroti program pengentasan kemiskinan yang tidak terpusat pada satu lembaga dan tidak memiliki data yang valid.
"Program pengentasan kemiskinan tidak terpusat pada satu lembaga yang setara dengan kementerian atau lembaga khusus yang langsung dipimpin oleh Presiden. Hal ini berdampak terhadap proses koordinasi dan pencapaian target pengurangan angka kemiskinan," tuturnya.
Dia berpandangan, persoalan data juga masih menjadi masalah mendasar yang dihadapi dalam memberikan bantuan atau penyaluran program.
"Masih banyak terdapat exclusion error dan inclusion error dalam data perlindungan sosial sehingga tidak tepat sasaran," kata dia.
Selain itu, Anis menjelaskan bahwa kemiskinan didominasi oleh persoalan struktural.
"Adanya struktur sosial masyarakat yang tidak memiliki akses atau mobilitas vertikal untuk menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata, menjadi persoalan tersendiri," ucap Anis.
Kelompok ini terdiri dari para petani yang tidak memiliki tanah pribadi atau petani dengan kepemilikan lahan yang kecil sehingga hasilnya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Selain itu, buruh yang tidak memiliki keahlian yang dikenal dengan sebutan unskilled labour.[]