News Kamis, 25 Desember 2025 | 10:12

Ketua Komisi VII DPR Soroti Masalah Tunai vs Cashless: Jangan Tinggalkan Desa dan Lansia

Lihat Foto Ketua Komisi VII DPR Soroti Masalah Tunai vs Cashless: Jangan Tinggalkan Desa dan Lansia Ketua Komisi VII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay.(Foto:Istimewa)

Jakarta – Ketua Komisi VII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, mengingatkan pentingnya keberpihakan negara terhadap seluruh lapisan masyarakat dalam era digitalisasi, khususnya dalam sistem pembayaran.

Politisi Fraksi PAN yang juga Wakil Ketua Umum DPP PAN ini mengapresiasi kemudahan teknologi digital, namun menegaskan bahwa tidak semua orang dan tempat siap dengan sistem pembayaran non-tunai (cashless).

Sebagai akademisi, dia mengaku sangat senang dengan perkembangan teknologi digital yang mempermudah banyak urusan.

"Kalau ditanya, apakah senang memakai kartu dalam setiap transaksi? Saya tentu akan menjawab `sangat senang`. Bahkan, sampai saat ini saya banyak memakai cashless dalam sistem pembayaran saya," ujarnya.

Namun, mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah ini mengingatkan adanya kesenjangan digital yang nyata.

Ia menyoroti kelompok rentan seperti anak di bawah umur yang belum memiliki kartu, para lansia yang belum mampu mengikuti teknologi, serta masyarakat yang tinggal di daerah kecil dan pedesaan.

"Di dapil saya (Sumut II), internet hanya bisa aktif kalau ada listrik. Kalau listrik padam, jaringan telepon terganggu," ujarnya. 

Ia juga menggambarkan kesulitan teknis yang dihadapi warga desa.

"Tidak semua desa itu ada bank. Kalau mau cashless, harus ke bank dulu. Bayangkan betapa susahnya mereka yang tinggal di desa harus ke ibukota kecamatan terlebih dahulu hanya untuk urusan cashless. Jarak yang jauh tentu menambah kerumitan," paparnya.

Berdasarkan realitas tersebut, Saleh menegaskan bahwa negara harus hadir secara adil bagi semua warga.

"Tugas negara adalah melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Itu termaktub secara eksplisit di dalam konstitusi," tegasnya.

Ia mengkritik keras praktik penolakan pembayaran tunai yang dilakukan sejumlah pedagang atau toko.

Menurutnya, hal itu bisa jadi didorong keinginan pemilik toko untuk bekerja simpel atau bahkan karena ketidakpercayaan pada pekerja.

"Konyolnya, aturan yang dibuat itu justru bertentangan dengan UU. Bertentangan dengan titah negara. Tidak melihat dalam radius, spektrum, dan cakrawala lebih luas," ucap Saleh.

Dia menegaskan bahwa sistem pembayaran cashless tidak salah dan penting bagi sebagian kalangan. Namun, kebijakan atau praktik yang menghilangkan opsi tunai dinilainya keliru.

"Kalau memang uang cash ditolak, lalu buat apa negara menghabiskan uang untuk proyek cetak uang? Berapa banyak karyawan yang dipekerjakan dalam bidang ini? Apakah semua itu hanya simbolik tanpa makna?" tanyanya. 

Ia mengingatkan bahwa uang kertas dan logam adalah alat pembayaran yang sah di Indonesia. Oleh karena itu, negara harus memastikan hak setiap warga untuk bertransaksi dengan alat pembayaran yang sah tersebut tetap terlindungi, sambil terus mendorong inklusi keuangan dan digital yang berkeadilan.[] 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya