Jakarta - Mahkamah Konstitusi kembali menyidangkan permohonan nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu, Kamis, 16 Maret 2023.
Sebagaimana diajukan Demas Brian Wicaksono selaku pengurus PDIP, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Mereka mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Sidang pendahuluan pada Rabu, 23 September 2022, Demas cs mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak.
Sistem itu telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri.
Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal tersebut telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan.
Proporsional terbuka ini Demas cs nilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu.
Mestinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
Para pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks.
Sistem proporsional terbuka dinilai pemohon menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan.
Sehingga apabila pasal-pasal tersebut dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil.
BACA JUGA: Infografis: Perbedaan Sistem Proporsional Tertutup dan Terbuka dalam Pemilu
Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN.
Misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.
Selain itu, para pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Politisi Partai Demokrat Jansen Sitindaon dalam persidangan sebagai pihak terkait, mengatakan para pemohon berdalih pemilu berbiaya mahal menyebabkan anggota dewan yang terpilih melakukan korupsi.
BACA JUGA: Ketua KPU Hasyim Asy`ari Diperiksa DKPP, Terkait Pernyataan Sistem Pemilu Tertutup
"Soal perilaku koruptif elit politik itu tidak ada kaitannya dengan sistem pemilu proporsional terbuka," kata dia dilansir dari laman MK.
“Mau sistem apapun untuk pemilu, baik terbuka atau tertutup, tetap terbukanya politik uang itu,” tambah Jansen.
Jansen menjelaskan, terkait money politics sudah ada ancaman pidananya. Caleg bisa digugurkan jika terbukti menggunakan uang untuk mendapatkan suara.
Jansen menanggapi dalil para pemohon yang menganggap sistem proporsional terbuka sebagai pemborosan anggaran negara.
Menurut dia, hal ini menunjukkan para pemohon tidak memahami bahwa demokrasi memang berbiaya mahal.
Tapi dengan biaya mahal bertujuan mendapatkan perwakilan yang akuntabel dan demokratis.
Ada tanggung jawab anggota dewan kepada pemilihnya, anggota dewan akan selalu merawat daerah pemilihannya, sebab jika tidak, dia tidak akan dipilih kembali.
“Berbeda dengan sistem proporsional tertutup yang menyebabkan tidak ada hubungan psikologis antara anggota dewan dengan pemilihnya,” terang Jansen.
Jansen berharap, ke depan Indonesia dapat menggunakan sistem distrik seperti yang dianut oleh negara lain.
“Jadi dapil itu kecil sekali hanya satu dapil dengan alokasi satu kursi,” tukasnya. []