Oleh: Binsar Tison Gultom
Sebagai salah satu penduduk Kota Pematangsiantar, saya sudah lama merindukan pijakan torehan jejak- jejak sejarah baru kota ini, apalagi 24 April 2024 memperingati hari jadi yang ke-153 tahun.
Angka tersebut bukanlah angka yang muda lagi. Sebagai kota kedua terbesar di Sumut, Pematangsiantar mencatat banyak sejarah dan bahkan kota ini melahirkan putra terbaik bangsa menjadi tokoh bangsa, seperti Adam Malik yang menjadi Wakil Presiden Indonesia ketiga, Syamsul Anwar Harahap petinju hebat Indonesia di masanya, dan Dick Sudirman pebulutangkis hebat, di mana namanya diabadikan sebagai salah satu kejuaraan beregu dunia.
Bahkan jauh sebelum adanya penjajahan, perkembangan Kota Pematangsiantar diawali dengan sempatnya menjadi Ibu Kota Simalungun, yaitu perpindahan daerah Controleur Belanda dari daerah Perdagangan ke Siantar di tahun 1907 menjadi titik awal kota ini berkembangan pesat dan dikunjungi banyak orang sebagai pendatang dan untuk menetap.
Bahkan di masa penjajahan, Kota Pematangsiantar sempat menjadi Ibu Kota Sumatra Utara di tahun 1946 ketika Sekutu NICA menyerang markas Tentara Republik Indonesia (TRI) di sekitar Medan Area.
Ulasan jejak sejarah kota dan prestasi Anak Siantar kita hentikan sejenak, agar kita tidak hanya terjebak nostalgia sejarah semata, namun lupa kondisi kekinian.
Perenungan sejenak, akankah historis sejarah dan historis prestasi itu seakan hilang tidak bersambung “sunyi” selaras dengan keheningan sejuknya Kota Pematangsiantar, padahal kita hidup di kota yang penuh jejak sejarah yang manis yang seharusnya bisa menjadi refleksi perjalanan kota ini?
Dari historikal Kota Pematangsiantar menjadi kota sentral, daerah sekitar terlihat sejak dulu sampaikan sekarang terus bertransformasi menjadi kota perdagangan. Pematangsiantar menjadi sentral bertemunya para pedagang dari luar daerah lain untuk membeli dan menjual hasil pertanian, hasil perikanan, bahkan menjadi sentral pembelian suku cadang kendaraan. Masyarakat dari daerah sekitar Kota Pematangsiantar datang membeli dan menjualnya kembali di daerah asalnya.
Berkaca dari kota lain, seperti Surabaya, Solo, Jogja bahkan Bogor yang konsisten membangun icon kota dan mampu membuat daya tarik tersendiri. Ada yang menonjolkan kebudayaan, pariwisata, dan mampu membungkus “sejarah kotanya” menjadi sebuah value kota untuk dikunjungi wisatawan, seperti Jogja mengedepankan nilai sejarah dan budaya (nuansa Keraton dll) dalam membranding kotanya.
Kota Pematangsiantar tidak kurang tempat bersejarah sebagai modal icon, seperti sejarah Raja Siantar Sangnawaluh Damanik, bangunan sepanjang Jalan Cipto Mangunkusumo merupakan bangunan heritage, Vihara Avalokitesvara, Patung Dewi Kwan Im yang menjadi salah satu patung tertinggi di Indonesia dan banyak lagi.
Surabaya sebagai kota modern, mampu menjadi kota good governance, akses layanan publik, ruang terbuka hijau bahkan sampai menjadi kota pengelolaan sampah terbaik. Kota Pematangsiantar jauh dan mampu untuk semua prestasi di atas. Tahun 2013 Pematangsiantar terakhir menerima anugerah Piala Adipura.
Jika Kota Bogor memiliki Kebun Raya Bogor, sekitar Kota Pematangsiantar memiliki kebun teh Sidamanik yang tidak kalah indahnya. Pematangsiantar juga menjadi gerbang utama menuju danau terbesar di Indonesia, Danau Toba, harusnya mampu mengambil peran lebih banyak dan terus memanfaatkan keuntungan geografis tersebut untuk menambah simpul-simpul baru apalagi untuk peningkatan perekonomian masyarakat. Siapakah yang mampu mengeksekusi hal tersebut?
BACA JUGA: Anak Siantar, Azis Boing Sitanggang Profesor Termuda di IPB
Jawabannya adalah kita, siapa kita? Pemerintah dan seluruh masyarakat (UMKM, pelaku seni dan budaya, pekerja-pekerja kreatif, akademisi, dan seluruhnya lapisan masyarakat).
Kita bergandengan tangan memajukan Kota Sejuk ini. Pemerintah terus merangkul dan menghasilkan kebijakan yang jenius yang terasa dalam pembangunan kota dan peningkatan ekonomi masyarakat dan bukan terjebak di hal-hal kebijakan normatif.
Sebagaimana visi Kota Pematangsiantar menjadi Kota yang Sehat, Sejahtera dan Berkualitas, visi ini hendaknya jangan hanya sebuah “manisnya kata-kata” semata.
Karena kota ini mampu dalam kecerdasan masyarakatnya, potensi yang final, sarana dan prasarana yang cukup, pijakan catatan sejarah yang kuat, seharusnya mampu “naik kelas” berdiri sejajar dengan kota-kota hebat di Indonesia dalam pengelolan yang baik menuju kota yang maju, sehat, dan sejahtera.
Kita tidak boleh menepikan langkah progres pemerintah kota dalam perjalanannya untuk perbaikan- perbaikan kota untuk terus semakin terlihat, misalnya peningkatan IPM yang cukup signifikan naik menjadi 80,46 %, penurunan angka kemiskinan, kota terbaik pencapaian Keluarga Berencana tahun 2023, pengelolaan keuangan daerah dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), dan langkah-langkah perjalanan menuju smart city. Semuanya bagian dari progres perjalanan pembangunan kota ini.
Visi yang jelas akan menghasilkan misi yang jelas dan diejawantahkan dengan program jangka pendek dan menengah (blue print) pemerintah kota dalam mewujudkan pembangunan Pematangsiantar yang berkesinambungan dan terus memperhatikan sektor-sektor yang belum disentuh dalam pengembangannya sebagaimana cerita kita di atas.
Sebagai masyarakat, kita juga harus mampu tetap memberikan atensi dan terus memberikan kepercayaan, saran serta ikut mendorong pembangunan kota. Kepemimpinan dan adanya kemauan yang sama antara pemerintah dan masyarakat adalah sebuah keharusan.
Masyarakat percaya, yakin kepada pemimpin untuk arah dan fokus kemana pembangunan kota ini. Mampu melihat seluruh potensi masyarakat yang ada dan membaca peluang yang akan ada, sehingga Kota Pematangsiantar menjadi icon yang bisa dibanggakan, menjadi keunggulan komparatif sebagai pembeda dengan kota lainnya.
Keunggulan komparatif itu mampu menggerakkan perekonomian dan ujung hilirnya adalah mampu memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, baik ekonomi dan kebanggaan menjadi Anak Siantar. Tanpa menghilangkan nilai, heterogen dan kenyamanan kota kita Kota Pematangsiantar. Dirgahayu Kota Pematangsiantar, teruslah menciptakan sejarah!
[Penulis adalah Pengajar di Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar]