Jakarta - Aliansi Mogok Makan Untuk UU PPRT menggelar konferensi pers di Gedung YLBHI, Jakarta Pusat.
Aliansi berencana menggelar aksi mogok makan mulai 14 Agustus 2023 di depan gedung DPR/MPR RI hingga disahkannya RUU PPRT.
Dalam kegiatan konfres itu, diungkap bahwa Pekerja Rumah Tangga (PRT) memiliki kerentanan yang lebih besar untuk mengalami penyiksaan dan kekerasan.
Hal ini disebabkan mereka bekerja di ranah privat atau pribadi, dalam hal ini di rumah yang menjadi tempat kerjanya.
Lingkup tempat kerja yang privat membuat tindak kekerasan atau penyiksaan lebih mudah dilakukan karena lebih mudah ditutupi.
Hal ini termasuk juga dengan kerentanan untuk menjadi korban perbudakan modern.
Perbudakan modern setidaknya terdiri atas tiga unsur, yaitu adanya relasi kuasa yang tak seimbang antara pelaku-korban, adanya paksaan atau koersi, dan adanya ketidakmampuan korban untuk melepaskan diri dari perbudakan yang dialami.
PRT merupakan salah satu profesi yang sangat rentan akan terjadinya perbudakan modern, seperti perdagangan manusia, kerja paksa, bonded labor, eksploitasi seksual, perbudakan domestik, perkawinan paksa, hingga pengambilan organ tubuh ilegal.
Hal-hal seperti pemukulan, waktu kerja yang di luar akal sehat, hingga kekerasan seksual sangat rentang dialami oleh para PRT.
Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mencatat 1.635 kasus multi kekerasan terhadap PRT yang berakibat fatal selama 2017-2022.
Selain itu, terdapat 2.021 kasus kekerasan fisik dan psikis, serta 1.609 kasus kekerasan ekonomi.
Data-data tersebut hanyalah sebuah fenomena puncak gunung es yang sejatinya masih banyak kasus yang tak dilaporkan.
Banyaknya angka kasus tersebut dipengaruhi pula karena belum adanya dasar hukum yang mengikat secara detail terkait PRT.
BACA JUGA: Aksi Mogok Makan Terkait RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
Selama ini, kasus yang berkaitan dengan kekerasan terhadap PRT diselesaikan dengan menggunakan dasar hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau UU PKDRT.
Dan kerap kali pengadilan yang mengadili kasus-kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga kerap menjatuhkan sanksi ringan yang tidak sebanding dengan dampak permanen yang ditimbulkan pada pekerja.
PRT Korban Perdagangan Orang
Hingga tahun 2023, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) masih menjadi permasalahan utama yang mesti dituntaskan oleh pemerintah.
Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI (Bareskrim Polri) dalam lima tahun terakhir (tahun 2015-2019), sebanyak 2.648 orang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Sementara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mencatat sedikitnya 1.581 orang di Indonesia menjadi korban TPPO pada periode 2020-2022.
PRT juga termasuk sebagai bagian dari korban-korban TPPO. Hal ini sesuai data dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) total aduan kasus perdagangan yang ditangani SBMI sejak 2012 sampai 2020 adalah 2.597 kasus.
Dari jumlah tersebut, PRT merupakan korban perdagangan orang terbesar, yakni sebesar 58,5 persen (1.519 kasus).
Kertas Laporan Investigasi yang dikeluarkan oleh SBMI ”Jeratan Perdagangan Orang dalam Bisnis Penempatan Buruh Migran” pada 30 Juli 2020 lalu menemukan rantai pasok, cara, proses, dan eksploitasi untuk kepentingan perdagangan orang yang dialami oleh pekerja/buruh migran yang umumnya bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT).
"Melihat banyaknya catatan kasus kekerasan dan TPPO yang begitu tinggi dan terus terjadi di Indonesia, DPR justru menyandera pembahasan RUU PRT selama hampir dua dekade," kata Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur.
Hal ini justru memunculkan indikasi bahwa Indonesia masih mengamini praktik perbudakan modern dengan membiarkan jutaan PRT bekerja tanpa perlindungan hukum. []