Jakarta - Pengamat politik senior Dr. Rahman Sabon Nama (RSN) mengingatkan pada Presiden Joko Widodo bahwa penundaan Pemilu hanya bisa dilakukan apabila situasi negara dalam keadaan konflik.
Sekarang ini menurut Rahman, negara dalam keadaan aman-aman saja, sehingga apabila Pemilu 2024 ditunda, maka jelas-jelas Presiden Joko Widodo melanggar konstitusi UUD 1945.
"Risikonya berat, akan terjadi chaos lalu rakyat akan bergerak melengserkan Jokowi. Di sini perang saudara bisa terjadi," kata alumnus Lemhanas itu, Selasa 1 Maret 2022 tadi.
Menurut Rahman pilihan solusif untuk menyelamatkan negara dari risiko tertundanya keberlangsungan demokrasi 2024 untuk memilih anggota DPR/MPR, DPD dan DPRD serta memilih Presiden dan Wakil Presiden, salah satunya adalah melalui Dekrit Presiden.
Yang menjadi pertanyaan, lanjut Rahman, mana yang ongkos politiknya lebih ringan di antara (pilihan) Dekrit Presiden dan terjadi Kudeta Militer bahkan Revolusi Rakyat.
Yang pasti, konsekuensi atau risiko dari pilihan-pilihan itu adalah membunuh atau membantai keberlangsungan hidup dan kehidupan demokrasi.
Menurut Rahman risiko yang terbilang terkecil di antara kedua pilihan itu adalah Dekrit Presiden walau berisiko pula membajak kehidupan demokrasi sehingga presiden dinilai bertindak diktator.
Namun, lanjutnya, bisa dibatasi oleh Dekrit Presiden itu sendiri upaya hukum khusus yaitu suatu upaya bela diri menyelamatkan negara dari ancaman yang mendesak sehingga tidak ada pilihan lain.
"Dalam teori hukum tata negara menurut Prof. Yusril Izha Mahendra disebut: Staatsnoodrecht Subyectieve, tidak ada alasan dalam situasi negara saat ini dikeluarkan Dekrit," ungkap Rahman.
Oleh karena itu menurutnya, daripada risiko menunda Pemilu, melanggar konstitusi UUD 1945 yang dapat melengserkan Presiden Jokowi atau dapat di Kudeta Milter, maka pilihan terbaik demi tegaknya demokrasi adalah lewat Dekrit Presiden.
Rahman mengatakan, ada beberapa pertanyaan publik -dari para ulama dan rekan purnawiran TNI/Polri - kepada dia yakni apakah mungkin ada potensi terjadi Kudeta Militer?
"Saya jawab iya! Bahwa, potensi Kudeta Milter di negeri kita bisa terjadi seperti terjadi di Republik Fiji dengan terpilihnya Perdana Menteri dari keturunan India, Mahendra Chaundry," ucapnya.
Menurut Rahman, naiknya Mahendra Chaundry sebagai Perdana Menteri dirasakan rakyat Fiji sebagai ketidak-adilan terhadap pribumi Fiji.
Sehingga militer Fiji di bawah pimpinan George Speight yang etnis pribumi tidak rela dipimpin etnik pendatang India, dengan alasan, untuk melindungi rakyat pribumi Fiji, maka militer mengambil alih pemerintahan sipil.
Lebih jauh Rahman teringat peristiwa 21 Mei 1998 ketika sehari Presiden BJ. Habibie dilantik menjadi Presiden RI.
Beliau mengatakan dalam bahasa Inggris tanpa teks di depan Forum Editor Asia-Jerman bahwa beliau terancam dikudeta oleh Panglima Kostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, terindikasi dengan konsentrasi pasukannya di beberapa tempat strategis termasuk sekitar rumah BJ. Habibie.
Rahman juga menjelaskan ketika dia meyakinkan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) ketika lahirnya Dekrit Presiden Gus Dur tahun 2001.
Rahman menyampaikan bahwa ketika negara dalam keadaan bahaya konstitusi negara terancam, maka untuk menyelamatkan konstitusi negara, dia mempimpin delegasi 81 Parpol Non Kontestan Pemilu 99 bertemu Presiden Abdurahman Wahid di Istana Negara 22 Juli 2001 pukul 15.00 WIB.
Presiden Gus Dur didampingi Jaksa Agung Marsilam Simanjuntak dan Sekmil Presiden Masrma TNI Budhi Santoso.
Perdebatan dengan Presiden Gus Dur dan Jaksa Agung Marsilam Simanjuntak sekitar alasan hukum yang dapat dijadikan landasan diterapkannya Dekrit Presiden Gus Dur.
Semula Presiden Gus Dur ragu-ragu karena Jaksa Agung menyatakan bahwa belum ditemukan alasan hukumnya untuk di terbitkan Dekrit.
Tetapi Rahman dan kawan-kawan meyakinkan Presiden Gus Dur bahwa situasi negara dalam keadaan darurat subyektif atau dalam keadaan bahaya mengarah pada chaos sehingga Presiden Gus Dur dapat menerapkan teori subyective staatsnoodrecht. []